Kamis, 08 Mei 2014

STATUS EPILEPTIKUS DAN SYOK PADA ANAK


BAB I
PENDAHULUAN
Kejang bukan merupakan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa penyakit yang merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang berlebihan dari sel neuron otak oleh karena terganggu fungsinya akibat kelainan anatomi-fisiologi, biokimia atau kedua.1
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama hidupnya.  Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu.  Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.1
Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus. Pada kondisi status epileptikus pasien dapat mengalami syok.1 Sindroma klinis syok merupakan masalah dramatis, dinamis dan mengancam jiwa yang sering dihadapi klinisi. Semua dokter yang melaksanakan perawatan anak sakit akan dihadapkan dengan masalah sindroma klinis syok. Tanpa intervensi yang cepat dan tepat akan menyebabkan terjadinya gagal multiorgan dan kematian. Syok merupakan diagnosis klinis, tetapi pengenalan tanda-tanda klinis syok pada anak masih merupakan masalah. Karena itu pengenalan dini terhadap tanda-tanda syok dan tatalaksana yang tepat sangat penting dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat syok.2
Syok adalah suatu sindroam klinis akut yang terjadi karena kegagalan kardiovaskuler dimana terjadi ketidakmampuan system sirkulasi dalam menyediakan kecukupan oksigen dan nutrient lain untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Karena itu syok dapat dipandang sebagai keadaan defisiensi oksigen seluler akut. Jadi apapun faktor penyebabnya selalu merupakan masalah ketidakcukupan nutrient dan oksigen ditingkat seluler.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1       Definisi
Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus. Status epileptikus adalah gawat darurat medik yang memerlukan pendekatan terorganisasi dan terampil agar meminimalkan mortalitas dan morbiditas yang menyertai.3,4
                                                                                                                                                                     
2.2       Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan yaitu area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset). Kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.5
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).5,6
2.3       Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.3
2.4       Etiologi dan Patofisiologi
    Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal. Ada tiga subtipe utama status epileptikus pada anak: kejang demam lama, status epileptikus idiopatik dimana kejang berkembang pada ada atau tidaknya lesi atau serangan sistem saraf pusat yang mendasari, dan status epileptikus bergejala bila kejang terjadi bersama dengan gangguan neurologis atau kelainan metabolik yang lama.4
Kejang demam yang berlangsung selama lebih dari 30 menit, terutama pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, merupakan penyebab status epileptikus yang paling lazim. Kelompok idiopatik termasuk penderita epilepsi yang mengalami penghentian antikonvulsan mendadak (terutama benzodiazepin dan barbiturate) yang disertai dengan status epileptikus. Anak epilepsi yang diberi antikonvulsan yang tidak teratur atau yang tidak taat adalah lebih mungkin berkembang status epileptikus. Kurang tidur dan infeksi yang menyertai cenderung menjadikan penderita epilepsi lebih rentan terhadap status epileptikus. Mortalitas dan morbiditas pada penderita dengan kejang lama dan status epileptikus adalah rendah. Status epileptikus karena penyebab lain mempunyai mortalitas yang jauh lebih tinggi dan penyebab kematian  biasanya secara langsung dapat dianggap berasal dari kelainan yang mendasari.  Ensefalopati anoksik berat datang dengan kejang selama umur beberapa hari, dan prognosis akhir sebagian berkaitan dengan pengurangan dalam pengendalian kejang. Kelainan elektrolit, hipokalsemia, hipoglikemia, intoksikasi obat, intoksikasi timah hitam, hiperpireksia ekstrem, dan tumor otak terutama pada frontalis, merupakan penyebab tambahan status epileptikus.4
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.3,7
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.8
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. 3,7
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion natrium dan kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.3
Etiologi status epileptikus antara lain alkohol, anoksia, antikonvulsan-withdrawal, penyakit cerebrovaskular, epilepsi kronik, infeksi SSP, toksisitas obat-obatan, metabolik, trauma, tumor.1,2
Komplikasi status epileptikus, yaitu :3,4
  • Otak : Peningkatan Tekanan Intra Kranial, Oedema serebri, Trombosis arteri dan vena otak, Disfungsi kognitif
  • Gagal Ginjal : Myoglobinuria, rhabdomiolisis
  • Gagal Nafas : Apnoe, Pneumonia, Hipoksia, Hiperkapni, Gagal nafas
  • Pelepasan Katekolamin : Hipertensi, Oedema paru, Aritmia, Glikosuria, dilatasi pupil, Hipersekresi, hiperpireksia
  • Jantung : Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
  • Metabolik dan Sistemik : Dehidrasi, Asidosis, Hiper/hipoglikemia, Hiperkalemia, Hiponatremia, Kegagalan multiorgan
  • Idiopatik : Fraktur, tromboplebitis, DIC
2.5       Diagnosis
    Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada en selofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
E. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
F. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
H. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
2.6       Penatalaksanaan Status Epileptikus
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.4
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.9
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.9,10
Status Epileptikus Refrakter
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain: tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.3,5
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.10
Protokol Penghentian kejang: 11
A. 0 - 5 menit:
 -   Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
-     Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen
-   Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan  neurologi secara cepat
-   Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi 
B. 5 – 10 menit:
-   Pemasangan akses intarvena
-   Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
-   Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal 0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg). Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5–10 menit..
-    Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb. 
C. 10 – 15 menit
-    Cenderung menjadi status konvulsivus
-    Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
-   Dapat diberikan dosis ulangan  fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum  dosis 30 mg/kgbb. 
D. 30 menit
-   Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan interval 10 – 15 menit.
-   Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda-tanda depresi pernafasan.
-   Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan intensif. 
2.7       Definisi Syok
Syok adalah suatu sindroam klinis akut yang terjadi karena kegagalan kardiovaskuler dimana terjadi ketidakmampuan system sirkulasi dalam menyediakan kecukupan oksigen dan nutrient lain untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Karena itu syok dapat dipandang sebagai keadaan defisiensi oksigen seluler akut. Jadi apapun faktor penyebabnya selalu merupakan masalah ketidakcukupan nutrient dan oksigen ditingkat seluler. 2
2.7.1    Klasifikasi dan Penyebab Syok
Secara umum syok diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya sebagai berikut :2
1.      Hipovolemik
Disebabkan karena berkurangnya volume intravaskuler, merupakn penyebab syok tersering pada anak. Penyebab tersering karena diare, muntah, perdarahan dan kebocoran plasma.
2.      Kardiogenik
Disebabkan karena penurunan kontraktilitas otot jantung. Penyebab tersering karena kelainan jantung bawaan, kardiomiopati, dan miokarditis.
3.      Distributif
Disebabkan karena vasodilatasi dan berkumpulnya darah dipembuluh darah perifer. Penyebab tersering karena anafilaksis, neurogenik, sepsis dan endrokrinologik
4.      Obstruktif
Disebabkan karena hambatan pengisian dan pengeluaran jantung. Penyebab tersering adalah tamponade jantung dan pneumothorak.
5.      Pada beberapa buku penyebab tersering ada yang menambahkan gangguan pelepasan oksigen ditingkat jaringan atau seluler sebagai bagian dari syok, disebut sebagai syok disosiatif, penyebabnya bisa karena methemoglobinemia dan keracunan gas CO.

2.7.3    Rekomendasi Tata Laksana Syok berdasarkan Ikatan Dokter Anak Indonesia No.    004/Rek/PP IDAI/III/2014 : 12
1.      Kecepatan dalam memberikan penanganan syok sangat penting, makin lama dimulainya tindakan resusitasi makin memperburuk prognosis.
2.      Prioritas utama yang harus segera dilakukan adalah pemberian oksigen aliran tinggi, stabilisasi jalan nafas, dan pemasangan jalur intravena, diikuti segera dengan resusitasi cairan. Apabila jalur intravena perifer sukar didapat, jalur intraoseus (IO) segera dimulai.
3.      Setelah jalur vaskular didapat, segera lakukan resusitasi cairan dengan bolus kristaloid isotonik (Ringer lactate, normal saline) sebanyak 20 mL/kg dalam waktu 5-20 menit.
4.      Pemberian cairan dapat diulang untuk memperbaiki tekanan darah dan perfusi jaringan. Pada syok septik mungkin diperlukan cairan 60 mL/kg dalam 30-60 menit pertama.
5.      Pemberian cairan hanya dibatasi bila diduga penyebab syok adalah disfungsi jantung primer.
6.      Apabila setelah pemberian 20-60 mL/kg kristaloid isotonik masih diperlukan cairan, pertimbangkan pemberian koloid.  Darah hanya direkomendasikan sebagai pengganti volume yang hilang pada kasus perdarahan akut atau anemia dengan perfusi yang tidak adekuat meskipun telah mendapat 2-3 x 20 mL/kg bolus kristaloid.
7.      Pada syok septik, bila refrakter dengan pemberian cairan, pertimbangkan pemberian inotropik.
8.      Dopamin merupakan inotropik pilihah utama pada anak, dengan dosis 5-10 μgr/kg/menit.  Apabila syok resisten dengan pemberian dopamin, tambahkan epinefrin (dosis 0,05-0,3 μgr/kg/menit) untuk cold shock atau norepinefrin (dosis 0,05-1 μgr/kg/menit) untuk warm shock.
9.      Syok resisten katekolamin, dapat diberikan kortikosteroid dosis stres (hidrokortison 50 mg/m2/24jam).
10.  Dobutamin dipergunakan apabila setelah resusitasi cairan didapatkan curah jantung yang rendah dengan resistensi vaskular sistemik yang meningkat, ditandai dengan ekstremitas dingin, waktu pengisian kapiler memanjang, dan produksi urin berkurang tetapi tekanan darah normal.
11.  Pada syok septik, antibiotik harus diberikan dalam waktu 1 jam setelah diagnosis ditegakkan, setelah sebelumnya diambil darah untuk pemeriksaan kultur dan tes resistensi.
12.  Sebagai terapi awal dapat digunakan antibiotik berspektrum luas sampai didapatkan hasil kultur dan antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab.
13.  Target akhir resusitasi yang ingin dicapai merupakan petanda perfusi jaringan dan homeostasis seluler yang adekuat, terdiri dari: frekuensi denyut jantung normal, tidak ada perbedaan antara nadi sentral dan perifer, waktu pengisian kapiler < 2 detik, ekstremitas hangat, status mental normal, tekanan darah normal, produksi urin >1 mL/kg/jam, penurunan laktat serum.
14.  Tekanan darah sebenarnya bukan merupakan target akhir resusitasi, tetapi perbaikan rasio antara frekuensi denyut jantung dan tekanan darah yang disebut sebagai syok indeks, dapat dipakai sebagai indikator adanya perbaikan perfusi.


 DAFTAR PUSTAKA

1.      Tejani NR. Febrile Seizure. Emidicine. Medscape.com. 2010

2.      Kedaruratan pada anak. UKK Pediatri Gawat Darurat Ikatan Dokter Indonesia. Tata Laksana Syok Pada Anak. Manado : Juli 2011

  1. Huff JS. Status Epilepticus. http://emedicine.medscape.com/article/793708 [diakses tanggal 04 april 2014]
  2. Haslam HA. Nelson  Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol 3. Dalam: editor Behrman, Kliegman, Arvin. Status Epileptikus. Jakarta : EGC; 2000. pp 2067-68
  3. Christian M. Korff   Douglas R. Nordli Jr. Current Pediatric Therapy, 18th ed. In: Burg DF, editor. Status Epilepticus. USA: Saunders; 2006.
  4. CavazosJE,SpitzM.StatusEpilepticus.http://emedicine.medscape.com/article/1164462 [diakses tanggal 05 April 2014]

7.      Lazuardi S. Buku Ajar. Neurologi Anak. Dalam: editor Soetomenggolo T, Ismael S. Pengobatan Epilepsi. Jakarta: BP IDAI; 2000.pp 237-38

8.      Hassan R, Alatas H. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Epilepsi. Jakarta: FKUI;2005.pp 855-59

  1. Ilae. Status Epilepticus. http://www.ilae-epilepsy.org/visitors/Documents/10-statusepilepticus.pdf [ diakses tanggal 06 April 2014]
  2. Heafield MT. Managing Status Epilepticus. BMJ. Edisi 8 April 2000. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1117894/ [diakses tanggal 06 April 2014]
  3. Kania N. Kejang pada anak. Penanganan Kejang Pada Anak. Bandung : Februari 2008 http://www. (diakses tanggal 08 April 2014)
  4. Rekomendasi Tata Laksana Syok berdasarkan Ikatan Dokter Anak Indonesia No. 004/Rek/PP IDAI/III/2014 http://www. idai.com (diakses tanggal 06 April 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar