BAB
I
PENDAHULUAN
Kejang
bukan merupakan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa penyakit
yang merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang berlebihan dari
sel neuron otak oleh karena terganggu fungsinya akibat kelainan
anatomi-fisiologi, biokimia atau kedua.1
Kejang merupakan suatu
manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat. Hampir 5% anak
berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama
hidupnya. Kejang penting sebagai suatu
tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Tatalaksana
kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang salah atau
penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol,
depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu.
Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala
saat ini kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan
penyebabnya.1
Kejang mungkin
sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan,
atau merupakan gejala awal dari penyakit berat, atau cenderung menjadi status
epileptikus. Pada kondisi status epileptikus pasien dapat mengalami syok.1
Sindroma klinis syok merupakan masalah dramatis, dinamis dan mengancam jiwa
yang sering dihadapi klinisi. Semua dokter yang melaksanakan perawatan anak
sakit akan dihadapkan dengan masalah sindroma klinis syok. Tanpa intervensi
yang cepat dan tepat akan menyebabkan terjadinya gagal multiorgan dan kematian.
Syok merupakan diagnosis klinis, tetapi pengenalan tanda-tanda klinis syok pada
anak masih merupakan masalah. Karena itu pengenalan dini terhadap tanda-tanda
syok dan tatalaksana yang tepat sangat penting dalam menurunkan angka kesakitan
dan kematian akibat syok.2
Syok adalah suatu
sindroam klinis akut yang terjadi karena kegagalan kardiovaskuler dimana
terjadi ketidakmampuan system sirkulasi dalam menyediakan kecukupan oksigen dan
nutrient lain untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Karena itu syok
dapat dipandang sebagai keadaan defisiensi oksigen seluler akut. Jadi apapun
faktor penyebabnya selalu merupakan masalah ketidakcukupan nutrient dan oksigen
ditingkat seluler.2
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Definisi
Status
epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau
aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang
tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai
status epileptikus. Status epileptikus adalah gawat darurat medik yang
memerlukan pendekatan terorganisasi dan terampil agar meminimalkan mortalitas
dan morbiditas yang menyertai.3,4
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi
status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang
efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status
epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan yaitu area
tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized
onset). Kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu,
apakah konvulsi atau non-konvulsi.5
Banyak
pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu
versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum
(tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus
parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status
epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus
non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan
pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus,
infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).5,6
2.3 Epidemiologi
Status
epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian
kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang
terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status
epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi
berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi,
biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan. Mortalitas
yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas
yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira
10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan
puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.3
2.4 Etiologi dan Patofisiologi
Status
epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal. Ada tiga subtipe utama status
epileptikus pada anak: kejang demam lama, status epileptikus idiopatik dimana
kejang berkembang pada ada atau tidaknya lesi atau serangan sistem saraf pusat yang
mendasari, dan status epileptikus bergejala bila kejang terjadi bersama dengan
gangguan neurologis atau kelainan metabolik yang lama.4
Kejang
demam yang berlangsung selama lebih dari 30 menit, terutama pada anak yang
berumur kurang dari 3 bulan, merupakan penyebab status epileptikus yang paling
lazim. Kelompok idiopatik termasuk penderita epilepsi yang mengalami
penghentian antikonvulsan mendadak (terutama benzodiazepin dan barbiturate)
yang disertai dengan status epileptikus. Anak epilepsi yang diberi
antikonvulsan yang tidak teratur atau yang tidak taat adalah lebih mungkin
berkembang status epileptikus. Kurang tidur dan infeksi yang menyertai
cenderung menjadikan penderita epilepsi lebih rentan terhadap status
epileptikus. Mortalitas dan morbiditas pada penderita dengan kejang lama dan
status epileptikus adalah rendah. Status epileptikus karena penyebab lain
mempunyai mortalitas yang jauh lebih tinggi dan penyebab kematian biasanya secara langsung dapat dianggap
berasal dari kelainan yang mendasari. Ensefalopati anoksik berat datang dengan
kejang selama umur beberapa hari, dan prognosis akhir sebagian berkaitan dengan
pengurangan dalam pengendalian kejang. Kelainan elektrolit, hipokalsemia,
hipoglikemia, intoksikasi obat, intoksikasi timah hitam, hiperpireksia ekstrem,
dan tumor otak terutama pada frontalis, merupakan penyebab tambahan status
epileptikus.4
Secara
klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase
pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan
cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan
tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan
penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada
tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh
beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali
normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga
aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu
meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang
irreversibel.3,7
Aktivitas
kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika
peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini
diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap
kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.8
Kerusakan
dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada
lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri,
serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin
paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer. 3,7
Mekanisme
yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan
penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion
natrium dan kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.3
Etiologi status epileptikus antara lain
alkohol, anoksia, antikonvulsan-withdrawal, penyakit cerebrovaskular, epilepsi
kronik, infeksi SSP, toksisitas obat-obatan, metabolik, trauma, tumor.1,2
Komplikasi status epileptikus, yaitu :3,4
- Otak : Peningkatan Tekanan Intra Kranial, Oedema serebri, Trombosis arteri dan vena otak, Disfungsi kognitif
- Gagal Ginjal : Myoglobinuria, rhabdomiolisis
- Gagal Nafas : Apnoe, Pneumonia, Hipoksia, Hiperkapni, Gagal nafas
- Pelepasan Katekolamin : Hipertensi, Oedema paru, Aritmia, Glikosuria, dilatasi pupil, Hipersekresi, hiperpireksia
- Jantung : Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
- Metabolik dan Sistemik : Dehidrasi, Asidosis, Hiper/hipoglikemia, Hiperkalemia, Hiponatremia, Kegagalan multiorgan
- Idiopatik : Fraktur, tromboplebitis, DIC
2.5 Diagnosis
Pengenalan terhadap status epileptikus
penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status
tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status
epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira
44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized
tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini
merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik
umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap
kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan
otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi
sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.
Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin
berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic
Status Epileptikus)
Adakalanya
status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik
dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status
Epileptikus)
Status
epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran
tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya
terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.
Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada en selofati anoksia berat
dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas,
metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
E.
Status Epileptikus Absens
Bentuk
status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai
suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti
menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode
yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa
anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3
Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.
F.
Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi
ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif
ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika
sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat
marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized
spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari
status absens.
G.
Status Epileptikus Parsial Sederhana
a.
Status Somatomotorik
Kejang
diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada
satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan
dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan
berbahasa (status afasik).
b.
Status Somatosensorik
Jarang
ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
H.
Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat
dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup
untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan
berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat
aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi
bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status
absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial
kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
2.6 Penatalaksanaan Status Epileptikus
Status
epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa
yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera
mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Lini pertama dalam
penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang
paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan),
dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan
inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada
Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.4
Lorazepam
memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak
dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis
awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal.
Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %)
dari Lorazepam adalah sama.9
Pemberian
antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin.
Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari
50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang
berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”.
Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan
terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.9,10
Status
Epileptikus Refrakter
Pasien
dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun
dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang
cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren,
atau hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain: tremor,
rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada
status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon
terhadap terapi lini pertama.3,5
Dalam
mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan
Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan
memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol,
atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada kativitas
kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis
awal.10
Protokol Penghentian
kejang: 11
A.
0 - 5 menit:
-
Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
- Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen
ke jaringan, berikan oksigen
- Bila keadaan pasien stabil, lakukan
anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan neurologi secara cepat
- Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal
dan tanda-tanda infeksi
B.
5 – 10 menit:
- Pemasangan akses intarvena
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah
rutin, glukosa, elektrolit
- Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara
intravena, atau diazepam rektal 0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat
badan > 10 kg = 10 mg). Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu
– dua kali setelah 5–10 menit..
- Jika didapatkan hipoglikemia, berikan
glukosa 25% 2ml/kgbb.
C.
10 – 15 menit
- Cenderung menjadi status konvulsivus
- Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena
diencerkan dengan NaCl 0,9%
- Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis 30 mg/kgbb.
D.
30 menit
- Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat
diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan interval 10 – 15 menit.
- Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan,
seperti analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai
kelainan yang ada. Awasi tanda-tanda depresi pernafasan.
- Bila kejang masih berlangsung siapkan
intubasi dan kirim ke unit perawatan intensif.
2.7 Definisi Syok
Syok adalah suatu
sindroam klinis akut yang terjadi karena kegagalan kardiovaskuler dimana
terjadi ketidakmampuan system sirkulasi dalam menyediakan kecukupan oksigen dan
nutrient lain untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Karena itu syok
dapat dipandang sebagai keadaan defisiensi oksigen seluler akut. Jadi apapun
faktor penyebabnya selalu merupakan masalah ketidakcukupan nutrient dan oksigen
ditingkat seluler. 2
2.7.1 Klasifikasi dan Penyebab Syok
Secara umum syok diklasifikasikan berdasarkan
penyebabnya sebagai berikut :2
1.
Hipovolemik
Disebabkan
karena berkurangnya volume intravaskuler, merupakn penyebab syok tersering pada
anak. Penyebab tersering karena diare, muntah, perdarahan dan kebocoran plasma.
2.
Kardiogenik
Disebabkan
karena penurunan kontraktilitas otot jantung. Penyebab tersering karena
kelainan jantung bawaan, kardiomiopati, dan miokarditis.
3.
Distributif
Disebabkan
karena vasodilatasi dan berkumpulnya darah dipembuluh darah perifer. Penyebab
tersering karena anafilaksis, neurogenik, sepsis dan endrokrinologik
4.
Obstruktif
Disebabkan
karena hambatan pengisian dan pengeluaran jantung. Penyebab tersering adalah
tamponade jantung dan pneumothorak.
5.
Pada beberapa
buku penyebab tersering ada yang menambahkan gangguan pelepasan oksigen
ditingkat jaringan atau seluler sebagai bagian dari syok, disebut sebagai syok
disosiatif, penyebabnya bisa karena methemoglobinemia dan keracunan gas CO.
2.7.3 Rekomendasi Tata Laksana Syok berdasarkan Ikatan Dokter Anak
Indonesia No. 004/Rek/PP IDAI/III/2014
: 12
1.
Kecepatan
dalam memberikan penanganan syok sangat penting, makin lama dimulainya tindakan
resusitasi makin memperburuk prognosis.
2.
Prioritas
utama yang harus segera dilakukan adalah pemberian oksigen aliran tinggi,
stabilisasi jalan nafas, dan pemasangan jalur intravena, diikuti segera dengan
resusitasi cairan. Apabila jalur intravena perifer sukar didapat, jalur
intraoseus (IO) segera dimulai.
3.
Setelah
jalur vaskular didapat, segera lakukan resusitasi cairan dengan bolus
kristaloid isotonik (Ringer lactate, normal saline) sebanyak 20 mL/kg
dalam waktu 5-20 menit.
4.
Pemberian
cairan dapat diulang untuk memperbaiki tekanan darah dan perfusi jaringan. Pada
syok septik mungkin diperlukan cairan 60 mL/kg dalam 30-60 menit pertama.
5.
Pemberian
cairan hanya dibatasi bila diduga penyebab syok adalah disfungsi jantung
primer.
6.
Apabila
setelah pemberian 20-60 mL/kg kristaloid isotonik masih diperlukan cairan,
pertimbangkan pemberian koloid. Darah hanya direkomendasikan sebagai
pengganti volume yang hilang pada kasus perdarahan akut atau anemia dengan
perfusi yang tidak adekuat meskipun telah mendapat 2-3 x 20 mL/kg bolus
kristaloid.
7.
Pada
syok septik, bila refrakter dengan pemberian cairan, pertimbangkan pemberian
inotropik.
8.
Dopamin
merupakan inotropik pilihah utama pada anak, dengan dosis 5-10
μgr/kg/menit. Apabila syok resisten dengan pemberian dopamin, tambahkan
epinefrin (dosis 0,05-0,3 μgr/kg/menit) untuk cold shock atau norepinefrin
(dosis 0,05-1 μgr/kg/menit) untuk warm shock.
9.
Syok
resisten katekolamin, dapat diberikan kortikosteroid dosis stres (hidrokortison
50 mg/m2/24jam).
10. Dobutamin dipergunakan apabila
setelah resusitasi cairan didapatkan curah jantung yang rendah dengan
resistensi vaskular sistemik yang meningkat, ditandai dengan ekstremitas
dingin, waktu pengisian kapiler memanjang, dan produksi urin berkurang tetapi
tekanan darah normal.
11. Pada syok septik, antibiotik harus
diberikan dalam waktu 1 jam setelah diagnosis ditegakkan, setelah sebelumnya
diambil darah untuk pemeriksaan kultur dan tes resistensi.
12. Sebagai terapi awal dapat digunakan
antibiotik berspektrum luas sampai didapatkan hasil kultur dan antibiotik yang
sesuai dengan kuman penyebab.
13. Target akhir resusitasi yang ingin
dicapai merupakan petanda perfusi jaringan dan homeostasis seluler yang
adekuat, terdiri dari: frekuensi denyut jantung normal, tidak ada perbedaan
antara nadi sentral dan perifer, waktu pengisian kapiler < 2 detik,
ekstremitas hangat, status mental normal, tekanan darah normal, produksi urin
>1 mL/kg/jam, penurunan laktat serum.
14. Tekanan darah sebenarnya bukan
merupakan target akhir resusitasi, tetapi perbaikan rasio antara frekuensi
denyut jantung dan tekanan darah yang disebut sebagai syok indeks, dapat
dipakai sebagai indikator adanya perbaikan perfusi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Tejani
NR. Febrile Seizure. Emidicine. Medscape.com. 2010
2.
Kedaruratan pada anak. UKK Pediatri
Gawat Darurat Ikatan Dokter Indonesia. Tata Laksana Syok Pada Anak. Manado :
Juli 2011
- Huff JS. Status Epilepticus. http://emedicine.medscape.com/article/793708 [diakses tanggal 04 april 2014]
- Haslam HA. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol 3. Dalam: editor Behrman, Kliegman, Arvin. Status Epileptikus. Jakarta : EGC; 2000. pp 2067-68
- Christian M. Korff Douglas R. Nordli Jr. Current Pediatric Therapy, 18th ed. In: Burg DF, editor. Status Epilepticus. USA: Saunders; 2006.
- CavazosJE,SpitzM.StatusEpilepticus.http://emedicine.medscape.com/article/1164462 [diakses tanggal 05 April 2014]
7. Lazuardi
S. Buku Ajar. Neurologi Anak. Dalam: editor Soetomenggolo T, Ismael S.
Pengobatan Epilepsi. Jakarta: BP IDAI; 2000.pp 237-38
8. Hassan
R, Alatas H. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Epilepsi. Jakarta: FKUI;2005.pp
855-59
- Ilae. Status Epilepticus. http://www.ilae-epilepsy.org/visitors/Documents/10-statusepilepticus.pdf [ diakses tanggal 06 April 2014]
- Heafield MT. Managing Status Epilepticus. BMJ. Edisi 8 April 2000. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1117894/ [diakses tanggal 06 April 2014]
- Kania N. Kejang pada anak. Penanganan Kejang Pada Anak. Bandung : Februari 2008 http://www. (diakses tanggal 08 April 2014)
- Rekomendasi Tata Laksana Syok berdasarkan Ikatan Dokter Anak Indonesia No. 004/Rek/PP IDAI/III/2014 http://www. idai.com (diakses tanggal 06 April 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar