Rabu, 23 September 2015

PLASENTA PREVIA


1. DEFINISI
    
    Plasenta adalah organ yang dibentuk selama kehamilan untuk memberikan nutrisi, membuang hasil metabolisme, dan menghasilkan hormon untuk mempertahankan kehamilan. Umumnya plasenta telah lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh cavum uteri. Letak plasenta umumnya di depan atau di belakang dinding uterus, agak ke atas ke arah fundus uteri. Hal ini adalah fisiologis karena permukaan bagian atas korpus uteri lebih luas, sehingga lebih banyak tempat untuk berimplantasi.1


 
                                                           Gambar 3.1. Plasenta Normal2

     Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum. Implantasi yang normal ialah pada dinding depan dan dinding belakang uterus di daerah fundus uteri.3
      Sejalan dengan bertambah membesarnya uterus dan meluasnya segmen bawah uterus ke arah proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah uteri ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah uteri seolah plasenta itu bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan kala satu bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari plasenta previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal maupun dalam masa intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun pemeriksaan digital. Oleh karena itu, pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam asuhan antenatal atau intranatal.3

2. KLASIFIKASI
   
    Klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu, yaitu :4
1.    Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum.
2.    Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum.
3.   Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum.
4.    Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah uteri sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap normal.3

 

Gambar 3.2. Plasenta previa totalis (paling kiri), plasenta previa parsialis (kiri tengah), plasenta previa marginalis (kanan tengah) dan plasenta letak rendah (paling kanan).5

   Karena klasifikasi ini tidak didasarkan pada keadaan anatomik melainkan fisiologik, maka klasifikasinya akan berubah setiap waktu. Umpamanya, plasenta previa totalis pada pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta previa parsialis pada pembukaan 8cm.3,4

3. INSIDENSI
    
    Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi dan pada usia di atas 30 tahun. Juga lebih sering terjadi pada kehamilan ganda daripada kehamilan tunggal.uterus bercacat ikut mempertinggi angka kejadiannya. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan insidennya berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%. Di negara maju insidensinya lebih rendah yaitu kurang dari 1% mungkin disebabkan berkurangnya perempuan hamil paritas tinggi. Dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi lebih dini, insidens plasenta previa bisa lebih tinggi.1 Plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 di antara 200 persalinan. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, antara tahun1971-1975, terjadi 37 kasus plasenta previa di antara 4.781 persalinan yang terdaftar atau kira-kira 1 di antara 125 persalinan terdaftar.4
Di Amerika Serikat, plasenta previa terjadi sekitar 0,3 - 0,5 % dari semua persalinan. Dari seluruh kejadian plasenta previa, plasenta previa totalis terjadi sebanyak 20-45%, plasenta previa parsialis sebanyak kurang lebih 30% dan plasenta previa marginalis sebanyak 25-50%.1 Sedangkan jumlah kematian perinatal akibat plasenta previa sekitar 0,03%.4

4. ETIOLOGI
   
   Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah uteri belum diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua di daerah segmen bawah uterus tanpa latar belakang lain yang mungkin.  Teori lain mengemukakan sebagai salah satu penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai, mungkin sebagai akibat dari proses radang atau atrofi. Paritas tinggi, usia lanjut, cacat rahim misalnya bekas bedah sesar, kerokan, miomektomi, dan sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di endometrium yang semuanya dapat dipandang sebagai sebagai faktor resiko terjadinya plasenta previa. Cacat bekas bedah sesar berperan menaikkan insiden dua sampai tiga kali. Pada perempuan perokok, dijumpai insidensi plasenta previa lebih tinggi dua kali lipat. Hipoksemia akibat karbon monoksida hasil pembakaran rokok menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi. Plasenta yang terlalu besar seperti pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah uterus sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.3,2

5. FAKTOR PREDISPOSISI
1.   Multiparitas dan umur lanjut ( >/ = 35 tahun).
2. Defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi akibat perubahan atrofik dan inflamatorotik.
3.   Cacat atau jaringan parut pada endometrium oleh bekas pembedahan (SC, Kuret, dll).
4.   Chorion leave persisten.
5.   Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi.
6.   Konsepsi dan nidasi terlambat.
7.   Plasenta besar pada hamil ganda dan eritoblastosis atau hidrops fetalis.
8.   Riwayat plasenta previa sebelumnya.

    Plasenta previa diperkirakan terjadi pada 1 diantara 20 wanita yang memiliki faktor resiko. Riwayat plasenta previa sebelumnya, riwayat seksio sesarea dan riwayat aborsi sebelumnya dapat menyebabkan perubahan atrofi dan pembentukan scar pada desidua.3,6 Meski perubahan yang terjadi pada desidua tidak selalu menyebabkan terjadinya plasenta previa namun merupakan faktor resiko untuk terjadinya plasenta previa. Pada kehamilan yang multipel, plasenta akan memperluas permukaannya bahkan sampai ke pembukaan jalan lahir, dimana risiko terjadi plasenta previa meningkat 2 kali lipat pada kehamilan ganda.3,
     Dilihat dari paritas dan umur ibu, Kloosterman (1973) mendapatkan frekuensi plasenta previa pada primigravida yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 10 kali lebih sering dibandingkan dengan primigravida yang berumur kurang dari 25 tahun, pada grande multipara yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 4 kali lebih sering dibandingkan dengan grande multipara yang berumur kurang dari 25 tahun. Sedangkan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo juga didapatkan frekuensi plasenta previa yang semakin meningkat dengan meningkatnya umur dan paritas. Frekuensi plasenta previa pada primigravida yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 2 kali lebih besar dibandingkan dengan primigravida yang berumur kurang dari 25 tahun, pada para 3 atau lebih yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 3 kali lebih besar dibandingkan dengan para 3 atau lebih yang berumur kurang dari 25 tahun.3,2

6. PATOFISIOLOGI 

    Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah uterus, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal yaitu, bagian desidua basalis yang bertumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah uterus, maka plasenta yang berimplantasi sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta.3,6
Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu ruangan intervillus dari plasenta. Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa betapa pun pasti akan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta pada mana perdarahan akan berlangsung lebih lama dan lebih banyak. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan. Demikianlah perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless). Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (painless).3,6
Pada plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan oleh karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah yaitu pada ostium uteri internum. Sebaliknya, pada plasenta previa parsialis atau letak rendah perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau mulai persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit, tetapi cenderung lebih banyak pada perdarahan berikutnya. Untuk berjaga-jaga mencegah syok hal tersebut perlu dipertimbangkan. Perdarahan pertama sudah biasa terjadi pada kehamilan di bawah 30 minggu tetapi lebih separuh kejadiannya pada umur kehamilan 34 minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak dekat dengan ostium uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan tidak membentuk hematom retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian, sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa.3,6
Hal yang perlu diperhatikan adalah segmen bawah rahim yang tipis dan mudah diinvasi oleh permukaan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan plasenta inkreta, bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus ke buli-buli, dan ke rektum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah mengalami bedah sesar. Segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh dan mudah robek oleh sebab kurangnya elemen otot yang terdapat di sana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan pasca persalinan pada plasenta previa, misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna (retentio plasenta), atau setelah uri lepas karena segmen bawah uteri tidak dapat berkontraksi dengan baik.3,6


Gambar 3.3. Segmen bawah rahim yang tipis hingga menyebabkan plasenta akreta, inkreta atau perkreta.5

7. GAMBARAN KLINIK

    Perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi pada saat penderita tidur atau bekerja biasa. Perdarahan pertama biasanya tidak banyak, sehingga tidak akan berakibat fatal dan sering berhenti sendiri. Akan tetapi perdarahan berikutnya selalu lebih banyak daripada perdarahan sebelumnya dan lebih berbahaya jika sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan dalam. Walaupun perdarahannya sering dikatakan terjadi pada triwulan ketiga, akan tetapi tidak jarang pula dimulai sejak kehamilan 20 minggu karena sejak itu segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis.3,7
    Dengan bertambahnya usia kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi, dan serviks mulai membuka. Plasenta yang letaknya lebih tinggi dapat menyebabkan perdarahan yang baru muncul ketika persalinan dan sering kali salah didiagnosis dengan solutio plasenta. Darah berwarna merah segar, berlainan dengan darah yang disebabkan oleh solusio plasenta yang berwarna kehitaman. Sumber perdarahan berasal dari sinus uterus yang terobek karena lepasnya plasenta dari dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahan yang terjadi tidak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan itu, tidak seperti perdarahan pada kala III dengan letak plasenta yang normal.3,7
    Turunnya bagian terbawah janin ke dalam pintu atas panggul akan terhalang karena adanya plasenta di bagian bawah uterus. Apabila janin dalam presentasi kepala, kepalanya akan didapatkan belum masuk ke dalam pintu atas panggul yang mungkin karena plasenta previa sentralis, menggolak ke samping karena plasenta previa parsialis, menonjol di atas simfisis karena plasenta previa posterior, atau bagian terendah janin tidak teraba karena plasenta previa anterior. Pada plasenta previa tidak jarang terjadi kelainan letak, seperti letak lintang atau letak sungsang.3,7


                                   Gambar 3.4. Berbagai letak janin pada plasenta previa.5

     Apabila janin telah lahir, plasenta tidak selalu mudah dilahirkan karena sering mengadakan pendekatan yang erat dengan dinding uterus. Selain itu, sering terjadi perdarahan postpartum apabila plasenta telah lahir. Ini terjadi karena kekurangmampuan serabut-serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan dari bekas insersio plasenta atau karena perlukaan serviks dan segmen bawah uterus yang rapuh dan mengandung banyak pembuluh darah besar, yang dapat terjadi bila persalinan berlangsung pervaginam.3,7


8. DIAGNOSIS

    Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai sebagai plasenta previa sampai dibuktikan bahwa dugaaan itu salah. Diagnosis plasenta previa sulit ditegakkan tanpa dilakukan pemeriksaan klinik sampai jari masuk melalui serviks dan meraba adanya plasenta.3
Pada anamnesis, akan ditemukan gejala perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu tanpa rasa nyeri, berwarna merah segar, dan tanpa alasan, terutama pada multigravida. Banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pemeriksaan hematokrit.3,7
Pada pemeriksaan luar, bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul. Jika presentasi kepala, biasanya kepalanya masih terapung di atas pintu atas panggul atau menggolak ke samping, dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul. Tidak jarang disertai kelainan letak janin seperti letak lintang atau letak sungsang.3,8
    Pemeriksaan in spekulo, bertujuan mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina, seperti erosio porsionis uteri, karsinoma porsionis uteri, polypus servisis uteri, varises vulva, dan trauma. Apabila perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai. Dilakukan pemeriksaan ini jika perdarahan telah berhenti.3,8
     Penentuan letak plasenta tidak langsung, dapat dilakukan dengan radiografi, radioisotope, dan ultrasonografi. Nilai diagnostik cukup tinggi di tangan yang ahli, akan tetapi ibu dan janin pada pemeriksaan radiografi dan radioisotop masih dihadapkan pada bahaya radiasi yang cukup tinggi pula, sehingga cara ini ditingggalkan. Cara termudah dan tepat serta aman menentukan lokasi plasenta dengan USG transabdominal. Nilai akurasi diagnostik 96% dan dapat mencapai 98%. False positif dapat terjadi akibat distensi vesika urinaria. Oleh karena itu pemeriksaan USG yang positif harus diulang setelah pengosongan vesika urinaria.3
     Penentuan letak plasenta secara langsung adalah dengan meraba secara langsung plasenta melalui kanalis servikalis. Akan tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan perdarahan banyak. Oleh karena itu pemeriksaan melalui kanalis servikalis hanya dilakukan apabila penanganan pasif ditinggalkan dan ditempuh penanganan aktif. Pemeriksaan harus dilakukan dalam keadaan siap operasi.3,8
     Pemeriksaan fornises hanya bermakna apabila janin dalam presentasi kepala. Sambil mendorong sedikit kepala janin ke arah pintu atas panggul, perlahan-lahan seluruh fornises diraba dengan jari. Perabaannya teraba lunak apabila antara jari dan kepala terdapat plasenta.3,8
Pemeriksaan melalui kanalis servikalis hanya dapat dilakukan apabila kanalis servikalis sudah terbuka. Perlahan-lahan jari dimasukkan ke dalam kanalis servikalis dengan tujuan meraba kotiledon plasenta. Jangan sekali-kali menyelusuri pinggir plasenta karena dapat menyebabkan lepasnya insersio plasenta.3

9. DIAGNOSIS BANDING

    Diagnosis banding untuk plasenta previa adalah solusio plasenta, ruptur uteri, erosi portio, post coital bleeding, preterm labour dan gangguan pembekuan darah.3
Gejala dan tanda
Faktor predisposisi
Penyulit lain
Diagnosis
·   Perdarahan tanpa nyeri, usia gestasi > 22 minggu
·   Darah segar atau dengan bekuan
·   Perdarahan dapat terjadi setelah miksi atau defekasi, aktivitas fisik, kontraksi braxton hicks atau koitus
·   multipara
·   mioma uteri
·   usia lanjut
·   kuretase berulang
·   bekas SC
·   merokok

·   Syok
·   perdarahan setelah koitus
·   Tidak ada kontraksi uterus
·   Bagian terendah janin tidak masuk PAP
·   Bisa terjadi gawat janin
Plasenta previa
·   Perdarahan dengan nyeri intermitten atau menetap
·   Warna darah kehitaman dan cair, tapi mungkin ada bekuan jika solusio relatif baru
·   Jika ostium terbuka, terjadi perdarahan berwarna merah segar.
·   Hipertensi
·   versi luar
·   trauma abdomen
·   polihidramnion
·   gemelli
·   defisiensi gizi
·   Syok yang tidak sesuai dengan jumlah darah (tersembunyi)
·   Anemia berat
·   Melemah atau hilangnya denyut jantung janin
·   gawat janin atau hilangnya denyut jantung janin
·   Uterus tegang dan nyeri
Solusio plasenta
·   Perdarahan intraabdominal dan/atau vaginal
·   Nyeri hebat sebelum perdarahan dan syok, yang kemudian hilang setelah terjadi regangan hebat pada perut bawah (kondisi ini tidak khas)
·   Riwayat seksio sesarea
·   Partus lama atau kasep
·   Disproporsi kepala /fetopelvik
·   Kelainan letak/presentasi
·   Persalinan traumatik
·  Syok atau takikardia
·  Adanya cairan bebas intraabdominal
·  Hilangnya gerak atau denyut jantung janin
·  Bentuk uterus abnormal atau konturnya tidak  jelas.
·  Nyeri raba/tekan dinding perut dan bagian2 janin mudah dipalpasi
Ruptur uteri
·   Perdarahan berwarna merah segar.
·   Uji pembekuan darah tidak menunjukkan adanya bekuan darah setelah 7 menit
·   Rendahnya faktor pembekuan darah, fibrinogen, trombosit, fragmentasi sel darah
·   solusio plasenta
·   janin mati dalam rahim
·   eklamsia
·   emboli air ketuban
·  perdarahan gusi
·  gambaran memar bawah kulit
·  perdarahan dari tempat suntikan jarum infus
Gangguan pembekuan darah

10. PENATALAKSANAAN

10.1. Prinsip Dasar Penatalaksanaan
        Setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk melakukan transfusi darah dan operasi. Perdarahan yang terjadi pertama kali jarang sekali, atau boleh dikatakan tidak pernah menyebabkan kematian, asal sebelumnya tidak diperiksa dalam. Biasanya masih terdapat cukup waktu untuk mengirimkan penderita ke rumah sakit, sebelum terjadi perdarahan berikutnya yang hampir selalu lebih banyak daripada sebelumnya. Jangan sekali-kali melakukan pemeriksaan dalam kecuali dalam keadaan siap operasi.3,8
Apabila dari penilaian ternyata perdarahan yang telah berlangsung atau yang akan berlangsung tidak akan membahayakan ibu dan/atau janinnya (yang masih hidup), dan kehamilannya belum cukup 36 minggu, atau taksiran berat janin belum sampai 2500 gram, dan persalinan belum mulai, dapat dibenarkan untuk menunda persalinan sampai janin dapat hidup di luar kandungan lebih baik lagi. Penanganan pasif ini, pada kasus-kasus tertentu sangat bermanfaat untuk mengurangi angka kematian neonatus yang tinggi akibat prematuritas, asal jangan dilakukan pemeriksaan dalam.3,7
       Penganganan pasif ini diperkenalkan oleh Johnson dan Macafee pada tahun 1945 untuk beberapa kasus plasenta previa yang janinnya masih prematur dan perdarahannya tidak berbahaya, sehingga tidak diperlukan tindakan pengakhiran kehamilan segera. Pengalamannya membuktikan bahwa perdarahan pertama pada plasenta previa jarang sekali fatal apabila sebelumnya tidak dilakukan pemeriksaan dalam dan perdarahan berikutnya pun jarang sekali fatal apabila sebelumnya ibu tidak menderita anemia dan tidak pernah dilakukan pemeriksaan dalam.3,8
Penanganan pasif ini bertujuan untuk memberikan kesempatan janin untuk dapat hidup dan berkembang lebih lama di dalam uterus sehingga akan meningkatkan luaran bayi kemungkinan bayi untuk hidup di luar kandungan lebih besar lagi.3,6 Penanganan pasif ini harus dilakukan secara konsekuen dimana menuntut fasilitas rumah sakit dan perhatian dokter yang luar biasa. Penderita harus dirawat di rumah sakit sejak perdarahan pertama sampai pemeriksaan menunjukkan tidak adanya plasenta previa atau sampai bersalin. Transfusi darah atau operasi harus dapat dilakukan setiap saat apabila diperlukan. Anemia harus segera diatasi mengingat kemungkinan perdarahan berikutnya. Menilai banyaknya perdarahan harus lebih didasarkan pada pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit secara berkala, daripada memperkirakan banyaknya darah yang hilang pervaginam. Ada atau tidaknya plasenta previa diperiksa dengan penentuan letak plasenta secara tidak langsung.3,8 Penderita dianjurkan untuk melakukan tirah baring atau bedrest, diberi hematinik, antibiotika, dan tokolitik bila ada his. Bila umur kehamilan kurang dari 34 minggu diberikan kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru-paru janin. Jika ibu memiliki tipe darah Rh negatif, diberikan injeksi Rh immune globulin atau RhoGam.3 
     Bila selama 3 hari tidak ada perdarahan, pada pasien dilakukan mobilisaI bertahap. Setelah pasien berjalan tetap tidak ada perdarahan, pasien boleh pulang dengan diinformasikan agar mengurangi aktifitas fisik dan menghindari setiap manipulasi intravaginal.3,8
Dilakukan penanganan aktif segera dan penanganan pasif harus ditinggalkan, jika terdapat salah satu dari keadaan dibawah ini : 3,8
·         Penurunan kondisi ibu
·         Perdarahan aktif
·         Umur kehamilan > 36 minggu
·         Taksiran berat janin > 2500 gram
·         Gawat janin pada janin yang viable
·         Kontraksi uterus yang tidak berespon pada pengobatan
Dalam hal ini pemeriksaan dalam dapat dilakukan di meja operasi dalam keadaan siap operasi.


10.2. Memilih Cara Persalinan
       Pada umumnya memilih cara persalinan yang terbaik tergantung dari derajat plasenta previa, paritas dan banyaknya perdarahan. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan pula ialah apakah terhadap penderita pernah dilakukan pemeriksaan dalam, atau penderita pernah mengalami infeksi seperti seringkali terjadi pada kasus-kasus kebidanan yang terbengkalai.3,8
Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk seksio sesarea, tanpa menghiraukan faktor-faktor lainnya. Plasenta previa parsialis pada primigravida sangat cenderung untuk seksio sesarea. Perdarahan banyak, apalagi berulang, merupakan indikasi mutlak umtuk seksio sesarea karena perdarahan itu biasanya disebabkan oleh plasenta previa yang lebih tinggi derajatnya daripada apa yang ditemukan pada pemeriksaan dalam, atau vaskularisasi yang hebat pada serviks dan segmen bawah uterus.3,8
Multigravida dengan plasenta letak rendah, plasenta previa marginalis, atau plasenta previa parsialis pada pembukaan lebih dari 5 cm dapat ditanggulangi dengan pemecahan selaput ketuban. Akan tetapi, apabila ternyata pemecahan selaput ketuban tidak mengurangi perdarahan yang timbul kemudian, atau setelah 12 jam tidak terjadi persalinan, atau terjadi gawat janin, maka seksio sesarea harus dilakukan. Dalam memilih cara persalinan per vaginam hendaknya dihindarkan cara persalinan yang lama dan sulit karena akan sangat membahayakan ibu dan janinnya.3,8
Pada kasus yang terbengkalai, dengan anemia berat dengan perdarahan atau infeksi intrauterin, baik seksio sesarea maupun persalinan per vaginam sama-sama tidak mengamankan ibu maupun janinnya. Akan tetapi, dengan bantuan transfusi darah dan antibiotika secukupnya, seksio sesarea masih lebih aman daripada persalinan per vaginam untuk semua kasus plasenta previa totalis dan kebanyakan kasus plasenta previa parsialis. Seksio sesarea pada multigravida yang telah memiliki anak hidup cukup banyak dapat dipertimbangkan untuk dilanjutkan dengan histerektomi untuk menghindarkan terjadinya perdarahan  postpartum yang sangat mungkin akan terjadi, atau sekurang-kurangnya dipertimbangkan untuk dilanjutkan dengan sterilisasi untuk menghindarkan kehamilan yang berikutnya. Terdapat 2 pilihan cara persalinan, yaitu persalinan per vaginam dan persalinan per abdominal (seksio sesarea). Persalinan per vaginam bertujuan agar bagian terbawah janin menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung, sehingga perdarahan berhenti. Seksio sesarea bertujuan untuk secepat-nya mengangkat sumber perdarahan, dengan demikian memberikan kesempatan kepada uterus untuk menghentikan perdarahannya dan untuk menghindarkan perlukaan pada serviks dan segmen bawah uterus yang rapuh apabila dilangsungkan persalinan per vaginam.3,8

a. Pesalinan per vaginam
Pemecahan selaput ketuban merupakan cara yang terpilih untuk melangsungkan persalinan per vaginam, karena bagian terbawah janin akan menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah, dan bagian plasenta yang berdarah itu dapat bebas mengikuti regangan segmen bawah uterus, sehingga pelepasan plasenta dari segmen bawah uterus lebih lanjut dapat dihindarkan.3,11
Apabila pemecahan ketuban tidak berhasil menghentikan perdarahan, maka terdapat 2 cara lainnya yang lebih keras menekan plasenta dan mungkin pula lebih cepat menyelesaikan persalinan, yaitu memasang cunam Willet, dan versi Braxton-Hicks. Kedua cara ini sudah ditinggalkan dalam dunia kebidanan muktahir karena seksio sesarea jauh lebih aman bagi ibu dan janinnya dibandingkan kedua cara itu. Akan tetapi, kedua cara itu masih mempunyai tempat tertentu dalam dunia kebidanan, umpamanya dalam keadaan darurat sebagai pertolongan pertama untuk mengatasi perdarahan banyak, atau apabila seksio sesarea tidak mungkin dilakukan.3,8
Semua cara ini mungkin mengurangi atau menghentikan perdarahan, dengan demikian, menolong ibu, akan tetapi tidak selalu menolong janinnya. Tekanan yang terus menerus pada plasenta akan mengurangi sirkulasi darah antara uterus dan plasenta, sehingga dapat menyebabkan anoksia sampai kematian janin. Oleh karena itu, cara ini cenderung dilakukan pada janin yang telah mati, atau yang prognosisnya hidup di luar uterus tidak baik. Cara ini apabila akan dilakukan, lebih tepat dilakukan pada miltipara karena persalinannya dijamin lebih lancar, dengan demikian tekanan pada plasenta berlangsung tidak terlalu lama. Bila his tidak adekuat dapat diberikan oksitosin drip. Namun bila perdarahan tetap ada maka dilakukan seksio sesaria.3,8

b. Seksio sesarea
Di rumah sakit yang serba lengkap, seksio sesarea akan merupakan persalinan yang terpilih. Nesbitt (1962) melaporkan 65% dari semua kasus plasenta previa diselesaikan dengan seksio sesarea.4 Persalinan seksio sesaria diindikasikan untuk plasenta previa totalis baik janin mati atau hidup, plasenta previa lateralis dimana pembukaannya kurang dari 4 cm atau serviks belum matang, plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan plasenta previa dengan gawat janin. Gawat janin atau kematian janin tidak boleh menjadi halangan untuk melakukan seksio sesarea, demi keselamatan ibu. Akan tetapi, gawat ibu mungkin terpaksa menunda seksio sesarea sampai keadaannya dapat diperbaiki, apabila fasilitas memungkinkan. Apabila fasilitasnya tidak memungkinkan untuk memperbaiki keadaan ibu, jangan ragu-ragu untuk melakukan tindakan seksio sesarea jika itu satu-satunya tindakan yang terbaik, seperti pada plasenta previa totalis dengan perdarahan yang banyak.3,8
Dalam keadaan gawat, laparotomi dengan sayatan kulit median jauh lebih cepat dapat dilakukan daripada dengan sayatan Pfannensteil yang lebih kosmetik. Sayatan pada dinding uterus sedapat mungkin menghindarkan sayatan pada plasenta, agar perdarahan dari pihak ibu dan janin tidak lebih banyak lagi. Perdarahan dari pihak janin akan sangat membahayakan kehidupannya, apabila tidak segera ditemukan tali pusatnya untuk kemudian dijepit. Dapat dilakukan seksio sesarea korporalis, walaupun diakui seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan jenis operasi yang terbaik untuk melahirkan janin per abdominam, apabila ternyata plasenta pada dinding depan uterus yaitu untuk menghindarkan sayatan pada plasenta dan menghindarkan sayatan pada segmen bawah uterus yang biasanya rapuh dan penuh dengan pembuluh darah besar-besar, sehingga dapat menghindarkan perdarahan postpartum. Perdarahan yang berlebihan dari bekas insersio plasenta, tidak selalu dapat diatasi dengan pemberian uterotonika, apalagi kalau penderita telah sangat anemis. Histerektomi totalis merupakan tindakan yang cepat untuk menghentikan perdarahan, dan dapat menyelamatkan jiwa penderita, namun sebelumnya sebaiknya dicoba terlebih dahulu untuk meghentikan perdarahan itu dengan jahitan. Apabila cara-cara tersebut tidak berhasil meghentikan perdarahan, dianjurkan untuk menghentikan perdarahan itu dengan jalan mengikat arteri hipogastrika.3,8

11. KOMPLIKASI
     Komplikasi dapat terjadi pada ibu dan janinnya. Komplikasi pada ibu dapat berupa perdarahan post partum dan syok karena kurang kuatnya kontraksi segmen bawah rahim, komplikasi tindakan seksio sesarea seperti trauma uterus atau serviks, infeksi saluran kencing, pneumonia post operatif dan meskipun jarang dapat terjadi embolisasi cairan amnion. Dapat pula terjadi kematian ibu yang disebabkan karena perdarahan post partum atau karena terjadi DIC (Disseminated Intravascular Coagulopathy).11
Terhadap janin, plasenta previa meningkatkan insiden kelainan kongenital dan pertumbuhan janin terganggu sehingga bayi yang dilahirkan memiliki berat yang kurang dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak menderita plasenta previa. Risiko kematian neonatal juga meningkat pada bayi dengan plasenta previa dengan angka kematian ±5%.6

12. PROGNOSIS
      Dengan penanggulangan yang baik seharusnya kematian ibu karena plasenta previa rendah sekali atau tak ada sama sekali. Sejak diperkenalkannya penanganan pasif pada tahun 1945, kematian perinatal berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun demikian, hingga kini kematian perinatal yang disebabkan prematuritas tetap memegang peranan utama.3





DAFTAR PUSTAKA


1.      Perkumpulan obstetri dan ginekologi indonesia. Standar pelayanan medik obstetri dan ginekologi. 2006
2.      Cunningham F.G, Leveno K.J, Bloom S.L. Obstetrical hemorrhage. Williams obstetric. Edisi ke-22. McGraw-Hill Companies; 2007.
3.      Prawiroharjo S. Ilmu kebidanan. 2009. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
4.      Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. Obstetri patologi. Bandung: Elstar Offset Bandung; 1984. 110-20.
5.      Miller D.A. Obstetric hemorrhage. 2004. [diakses 15 Agustus 2015] http://www.obfocus.com/images/previa.gif.htm.
6.      Hanafiah T.M. Plasenta previa. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2004.
7.      Karkata K. Pedoman diagnosis obstetrik dan ginekologik. Denpasar: Bagian/SMF Kebidanan dan Ilmu Penyakit Kandungan FK Unud/RS Sanglah.
8.      Saifudin A.B, Wiknjosastro G.H, Affandi B, Waspodo D. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Cetakan ke-7. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2002. 18-24.