1.
Defenisi
Kemoterapi
Kemoterapi
adalah segolongan obat yang dapat menghambat pertumbuhan kanker atau
bahkan membunuh sel kanker.1
Obat-obat anti kanker ini dapat digunakan sebagai terapi
tunggal (active single agents), tetapi
kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik
terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat
mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi
sehingga efek samping menurun.1
2.
Tujuan Kemoterapi
Tujuan kemoterapi adalah untuk
menyembuhkan pasien dari penyakit tumor ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan
untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel tumor apabila
ada metastasis jauh. Secara lokal dimana vaskularisasi jaringan tumor yang
masih baik, akan lebih sensitif menerima kemoterapi sebagai antineoplastik agen
dan karsinoma sel skuamosa biasanya
sangat sensitif terhadap kemoterapi ini.1
Untuk keperluan pemberian kemoterapi , kanker dibagi
menjadi 2 jenis yaitu :2
1. Kanker Hemopoitik dan limfopoitik
Kanker
hemopoitik dan limfopoitik umumnya merupakan kanker sistemik. Termasuk dalam
jenis kanker ini adalah kanker darah (leukemia), limfoma maligna dan sumsum
tulang (myeloma). Terapi utama kenker hematologi adalah kemoterapi, sedangkan
operasi dan radioterapi sebagai adjuvan.
2. Kanker padat (solid)
Kanker padat bisa lokal, bisa menyebar ke regional dan atau
sistemik ke organ-organ lain. Dalam kanker jenis ini termasuk kanker diluar hematologi.
Terapi utama kanker ini adalah operasi dan atau radioterapi, sedangkan
kemoterapi baru diberikan pada stadium lanjut sebagai adjuvan.
Beberapa sitostatika yang
mendapat rekomendasi dari Food And Drug Administration (Amerika) untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu
Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea,
Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan
Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan
didaerah kepala dan leher.2
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1991, dibagi atas 3 tipe:3
WHO 1 : karsinoma sel skuamosa, berkeratin di dalam
maupun di luar sel.
sel-sel
kanker berdiferensiasi baik sampai
sedang.
WHO
2 : termasuk adalah karsinoma non keratin
sel- sel
kanker berdiferensiasi baik sampai
sedang.
WHO 3: karsinoma
berdeferensiasi jelek, dengan gambaran sel kanker paling heterogen. Karsinoma anaplastik, clear cell carsinoma dan variasi sel
spindel.
Kemoterapi lebih sensitif
untuk karsinoma nasofaring WHO I dan sebagian WHO II yang dianggap
radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring WHO III memiliki
prognosis paling baik sebaliknya karsinoma nasofaring WHO I yang memiliki
prognosis paling buruk.4
Adanya perbedaan kecepatan
pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker dan sel
normal yang disebut siklus sel (cell
cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua
sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti
mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya
lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. 5
Berdasarkan siklus sel kemoterapi ada yang bekerja
pada semua siklus (Cell Cycle non
Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan
dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada
siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle
phase spesific ).5
Obat yang dapat menghambat
replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat
pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain
Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja
dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain
Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga
mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M),
Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M).5
Dapat dimengerti bahwa zat
dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya klonus tumor yang resisten, karena
obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila
resisten terhadap agen
tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang diberikan, dikarenakan
sasaran kerja pada siklus sel berbeda.5
Kebanyakan obat anti neoplasma
yang secara klinis bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim
maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan
mekanisme cara kerja obat, zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi
sebagai berikut :5
1.
Antimetabolit, Obat ini menghambat
biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai contoh Metotreksate, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang
dibutuhkan untuk sintesis timidin.
2. Obat
yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti CTX (Cyclophosphamide)
mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan replikasi sel. Di lain pihak,
antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip diantara
rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA.
3.
Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,
menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis.
Secara umum kemoterapi bisa
digunakan dengan 4 cara kerja yaitu :1,6
- Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi.
- Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut.
- Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan pasca pembedahan dan atau radiasi
- Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan limfoma).
Menurut prioritas indikasinya terapi kanker
dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis).
Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat
mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya.
Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna. 4
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi
yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :2
-
kankernya
masih ada, dimana biopsi masih positif
-
kemungkinan
besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.
-
pada
tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan
dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala
leher dibagi menjadi :2
1. neoadjuvant atau induction
chemotherapy
2. concurrent, simultaneous atau concomitant
chemoradiotherapy
3. post definitive chemotherapy.
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or concomitant chemoradiotherapy
) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan
dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel
kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan
kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,
membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang
sublethal.2
7.
Efek Samping Kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya
menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel
rambut, sumsum tulang dan sel
pada traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan,
depresi sumsum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastrointestinal
bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada
sel rambut mengakibatkan kerontokan
rambut.3 Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi
misalnya sumsum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena
efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari
sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel
normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.7
Efek
samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang
dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis
pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya
dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga
merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi.7
Untuk
menghindari efek samping intolerable, dimana penderita menjadi tambah sakit
sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat berdasarkan luas permukaan tubuh
(m2) atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat badan (kg). Selain itu faktor
yang perlu diperhatikan adalah keadaan biologik penderita. Untuk menentukan
keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum (kurus sekali,
tampak kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak, dll), status
penampilan (skala karnofsky, skala Eastern
Cooperative Oncology Group), status gizi, status hematologis, faal ginjal,
faal hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya.2
Penderita
yang tergolong good risk dapat
diberikan dosis yang relatif tinggi, pada poor
risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ penting) maka dosis
obat harus dikurangi atau diberikan obat lain yang efek samping terhadap organ
tersebut lebih minimal.2
Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh :8
- Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh tertentu.
- Dosis.
- Jadwal pemberian.
- Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus).
- Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada organ tertentu.
Pasien dengan keganasan memiki
kondisi dan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum
memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sbb :2
1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status penampilan <=
2
2. Jumlah lekosit >=3000/ml
3. Jumlah trombosit>=120.0000/ul
4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal
Hb > 10
5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit
dalam 24 jam ( Tes Faal Ginjal )
6. Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT
dalam batas normal ( Tes Faal Hepar ).
7. Elektrolit dalam batas normal.
8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika
sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun.
Status penampilan ini
mengambil indikator kemampuan pasien, dimana penyakit kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi
penampilan pasien. Hal ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang
menentukan pilihan terapi yang tepat pada pasien dengan sesuai status
penampilannya.
Skala status penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) adalah
sbb:8
- Grade 0 : masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk
mengerjakan tugas kerja dan pekerjaan sehari-hari.
- Grade 1 : hambatan pada perkerjaan berat, namun masih
mampu bekerja kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan.
- Grade 2 : hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 %
waktunya untuk tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri,
tidak dapat melakukan pekerjaan lain.
- Grade 3 :
Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50%
waktunya untuk tiduran.
- Grade 4 :
Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul hanya
di kursi atau tiduran terus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kentjono
WA. Kemoterapi pada Tumor Ganas THT-Kepala Leher Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr.
Soetomo. Surabaya. November 2002.p108-
21
2. Sukardja
IGD. Onkologi Klinik. Edisi 2. Penerbit Airlaga University Press. 2000. p243 – 55
3. Lin
HS, Fee WE. Malignant Nasopharygeal Tumors. Diakses dari www.emedicine.com. 2003
4. Chan
TC, Teo PM. Nasopharyngeal Carcinoma : Review. Annals of Oncology 13. 2002. p1007-15
5. Lika
L. Radiation therapy: Gale Encyclopedia of Medicine. Gale Research. 1999
6. Quinn
FB, Ryan WM. Chemotherapy for Head and Neck Cancer. Grand Rounds Presentation.
UTMB. Dept. of Otolaryngology. April 16, 2003
7. Cody
DT, Kern EB. Penyakit Telinga,
Hidung dan Tenggorokan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 199. hal:371-2
8. Skeel RT. Handbook of Cancer Chemoterapy. 3th Edition. Little, Brown and Company. London. 1987. p59-78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar