Senin, 23 Maret 2015

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)


BAB I
PENDAHULUAN
           
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko, seperti semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.1
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO,2002). Diperkirakan jumlah pasien PPOK untuk Asia tahun 2006 mencapai 56.6 juta pasien dengan prevalensi 6.3%. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4.8 juta pasien dengan prevalensi 5.6%. angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan perokok.2
            Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak 54.5% penduduk laki-laki dan 1.2% perempuan merupakan perokok, 92% dari perokok menyatakan kebiasannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota keluarga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota keluarga merupakan perokok pasif (BPS,2001). Jumlah perokok yang beresiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar 20-25%. Seiring dengan majunya tingkat perekonomian dan industri otomotif, jumlah kendaraan bermotor meningkat dari tahun ke tahun. Gas buang dari kendaraan tersebut menimbulkan polusi udara. Tujuh puluh sanpai delapan puluh persen pencemaran udara berasal dari gas buang kendaraan bermotor, sedangkan pencemaran akibat industri 20-30%.2 Dengan meningkatnya jumlah perokok dan polusi udara sebagai faktor resiko PPOK, maka di perkirakan jumlah penyakit tersebut juga akan meningkat. Usia Harapan Hidup (UHH) di Indonesia dari tahun 1990 meningkat dari 60 tahun menjadi 68 tahun pada tahun 2006. Apabila PPOK tidak dapat ditanggulangi dengan baik maka UHH di Indonesia akan menjadi menurun karena perjalanan PPOK bersifat kronik.2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.          Definisi
            Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. 1
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran pernafasan kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena emfisema merupakan diagnosis patologi, sedangkan bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis. Selain itu, keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran nafas.2
            Menurut American Thoracic Society (ATS), faktor risiko terjadinya PPOK adalah3:
  • Faktor host : faktor genetik, jenis kelamin, dan anatomi saluran napas.
  • Faktor exposure : merokok, hipereaktivitas saluran napas, pekerjaan, polusi lingkungan, infeksi bronkopulmoner berulang.

II.        Epidemiologi
            Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO,2002). Diperkirakan jumlah pasien PPOK untuk Asia tahun 2006 mencapai 56.6 juta pasien dengan prevalensi 6.3%. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4.8 juta pasien dengan prevalensi 5.6%. angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan perokok.2
            Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak 54.5% penduduk laki-laki dan 1.2% perempuan merupakan perokok, 92% dari perokok menyatakan kebiasannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota keluarga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota keluarga merupakan perokok pasif (BPS,2001). Jumlah perokok yang beresiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar 20-25%. Hubungan antara perokok dan PPOK merupakan hubungan dose response, lebih banyak jumlah rokok yang dihisap setiap hari dan lamanya kebiasaan merokok tersebut maka resiko penyakit yang ditimnulkan akan lebih besar.2

III.       Faktor resiko
            Identifikasi faktor resiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan penatalaksanaan PPOK. Pada dasarnya semua resiko PPOK merupakan hasil dari interaksi lingkungan dengan gen. Beberapa hal yang berkaitan dengan resiko timbulnya PPOK antara lain :2
      1.      Asap rokok
      2.      Polusi udara (indoor atau outdoor)
      3.      Stres oksidatif
      4.      Gen
      5.      Tumbuh kembang paru
      6.      Sosial ekonomi

IV.       Klasifikasi
            Klasifikasi PPOK dikutip dari Gold 2010, yaitu :2
  • Stadium 0 à Derajat berisiko PPOK :
-          Spirometri normal
-          Kelainan kronik (batuk, sputum produktif)

  • Stadium 1 à PPOK ringan :
-          VEP1/KVP < 70%
-          VEP1 > 80% prediksi
-       Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa faal paru mulai menurun

  • Stadium II à PPOK sedang:
-          VEP1/KVP < 70%
-          50% < VEP1 < 80% prediksi
-          Gejala sesak mulai dirasakan saat eraktifitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya

  • Stadium III à PPOK berat :
-          VEP1/KVP < 70%
-          30% VEP1 < 50%  prediksi
-      Gejala sesak lebih berat, penurunan aktifitas, lelah, serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien

          ·         Stadium IV à PPOK sangat berat :
-          VEP1/KEP < 70%
-          VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 < 50% prediksi disertai gagal afas kronik
-      Gejala PPOK stadium III + tanda-tanda gagal nafas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk. Jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa

IV.       Patogenesis
            Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi pada saluran nafas dan paru. Respon inflamasi abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema dan menganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran nafas kecil. Perubahan patologis menyebabkan udara terperangkap dan keterbatasan aliran udara yang bersifat progresif.2
            Inflamasi saluran nafas pada pasien PPOK merupkan amplikasi dari respon inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplikasi ini belum diketahui, kemungkinan disebabkan karena faktor genetik. Pada pasien PPOK yang tidak mempunyai riwayat meokok, penyebab respon inflamasi yang terjadi belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stress oksidatif dan kelebihan proinkinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK.
       Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien PPOK memberikan beberapa gambaran sistemik, khususnya pada penyakit yang berat. Hal ini berdampak terhadap masa tahan hidup dan penyakit komorbid. Kakeksia umumnya terkihat pada pasien dengan PPOK berat disebabkan oleh hilangnya masa otot rangka dan kelemahan otot sebagai akibat dari apoptosis yang meningkat dan atau tidak digunakannya otot tersebut. Pasien PPOK juga mengalami peningkatan proses osteoporosis, depresi dan anemia kronik. Peningkatan konsentrasi mediator inflamasi, termasuk efek TNF-α IL-6 dan radikal bebas dapat mengakibatkan efek sistemik tersebut. Peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler berkorelasi dengan peningkatan protein C-reaktif (CRP).

V.        Diagnosis
1. Anamnesis
Adanya keluhan sesak nafas, batuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala, riwayat paparan dengan faktor risiko, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap aktivitas.2

2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
     ·         Pursed lips breathing
     ·         Dada emfisematous atau barrel chest
     ·         Tampilan fisik pink puffer atau blue bloater
     ·         Penggunaan otot bantu nafas
     ·         Pelebaran sela iga
     ·         Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat adanya JVP dan udem tungkai
  
Palpasi
     ·         Vokal fremitus melemah

Perkusi
     ·         Hipersonor, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah dan hepar terdorong ke bawah

Auskultasi
     ·         Vesikuler normal atau melemah
     ·         Ronkhi (+), wheezing (+) pada saat bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa
     ·         Ekspirasi memanjang
     ·         Bunyi jantung terdengar jauh

3. Pemeriksaan Penunjang
  
A.Faal paru
·         Spirometri (VEP1VEP1 prediksi, KVP, VEP1 /KVP)
-          Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1 /KVP ( % )
-          Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75
-         VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit
-  Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupunkurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagidan sore, tidak lebih dari 20%
·         Uji bronkodilator
-          Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
-  Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudiandilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1atau APE < 20% nilai awal dan< 200 ml
-          Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

             B.      Laboratorium daah : Hb, Ht, leukosit, trombosit dan analisa gas darah

             C.      Radiologi : Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
             Pada emfisema terlihat gambaran :
-          Hiperinflasi
-          Hiperlusen
-          Ruang retrosternal melebar
-          Diafragma mendatar
-          Jantung menggantung  

 Pada bronkitis kronik :
-          Normal
-          Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

Pemeriksaan lanjutan
        1.      Faal paru
·  Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
·         Dlco (kapasitas residu) menurun pada emfisema
·         Raw (tahanan jalan nafas) meningkat pada bronkitis kronik
·         Sgaw (tahanan jalan nafas spesifik) meningkat
·         Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

        2.      Uji latih kardiopulmoner
           ·         Sepeda statis (ergocycle)
           ·         Treadmill
           ·         Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

       3.      Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktivitibronkus derajat ringan

       4.      Analisis gas darah terutama untuk menilai
·         Gagal napas kronik stabil
·         Gagal napas akut pada gagal napas kronik.

       5.      Radiologi
·         CT - Scan resolusi tinggi
·  Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidakterdeteksi oleh foto toraks polos
·         Scan ventilasi perfusi
·         Mengetahui fungsi respirasi paru

       6.      Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.

       7.      Ekokardiografi
            Menilai fungsi jantung kanan

       8.      Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untukmengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

       9.      Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensiantitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

VI.     Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen, yaitu :
                  1.      Mengurangi gejala
                  2.      Meningkatkan toleransi latihan
                  3.      Meningkatkan status kesehatan
                  4.      Mencegah dan menangani komplikasi
                  5.      Mencegah dan menangani eksaserbasi
                  6.      Menurunkan kematian

            Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
                  1.      Edukasi
                  2.      Berhenti merokok
                  3.      Obat-obatan
                  4.      Terapi oksigen
                  5.      Vetilasi mekanik
                  6.      Nutrisi
                  7.      Rehabilitasi



          1.      Edukasi
      Edukasi merupakan hal yang penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan asma karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif. Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan faal paru. 

           2.      Berhenti merokok
           Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok dengan 5°, yaitu :
·         Ask      : mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan
·         Advise  : dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok
·         Asses    : keinginan untuk usaha berhenti merokok
·  Asist   : bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling praktis dan merekomendasikan penggunaan farmakoterapi

           3.      Obat-obatan
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

           A.    Terapi PPOK Stabil
Kriteria PPOK stabil adalah :
     ·    Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik. Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
      ·         Sputum jernih tidak berwarna 
      ·         Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK
      ·         Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan 
      ·         Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan 

      B.     Terapi PPOK eksaserbasi akut

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Gejala eksaserbasi :
     ·         Sesak bertambah
     ·         Produksi sputum meningkat
     ·         Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga :
     ·         Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
     ·         Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
     ·    Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas lebih        dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar

      4.      Terapi oksigen

PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Indikasi :
      ·         Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
     ·    Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
  
Macam terapi oksigen :
      ·         Pemberian oksigen jangka panjang
      ·         Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
      ·         Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
      ·         Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Alat bantu pemberian oksigen  :
      ·         Nasal kanul
      ·         Sungkup venture
      ·         Sungkup rebreathing
      ·         Sungkup nonrebreathing 

 Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.

          5.      Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
           ·         Dengan intubasi
           ·         Tanpa intubasi

          6.      Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresif tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.

            7.      Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK  Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
·        -  Simptom pernapasan berat
·        -   Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
·        - Kualiti hidup yang menurun

    
    VII.    Prognosis
            Prognosis PPOK bergantung pada umur dan gejala klinis waktu berobat. Pada pasien yang berumur kurang dari 50 tahun dan datang dengan keluhan sesak nafas yang ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan. Tetapi bila pasien itu datang dengan sesak nafas sedang, maka 5 tahun kemudian 42% pasien akan sesak lebih berat dan meninggal. Pada pasien yang berumur lebih dari 50 tahun dengan sesak nafas ringan, 5 tahun kemudian 50% pasien akan lebih berat atau meninggal.


  
DAFTAR PUSTAKA

1.             Agustin H, Yunus F. Proses Metabolisme pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).  J Respir Indo Vol. 28, No. 3. Jakarta : Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Universitas Indonesia, 2008. 155-160
2.             Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jakarta : 2011
3.             Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. 984-985
4.             Rani AZ, Soegondo S, Nasir AUZ, et al. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 105-107
5.             Soemantri ES, Unaiyah A. Bronkitis Kronik dan Emfisema Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 1996. 872-889



1 komentar:

  1. Alhamdulillah saya sudah sembuh dari PPOK.
    Saya sembuh semenjak konsultasi dan minum obat resep dari pengobatan terpadu ah9779 yang di rekomendasi kan oleh teman saya ...
    Alhamdulillah semenjak rutin kosumsi obat resep beliau yang saya pesan langsung dari beliau nafas saya menjadi lega dan dahak serta mendengkur saya hilang... Jadi buat saudara yang lain kalau belum sembuh coba berobat dengan beliau... Bisa datang langsung atau hanya pesan obat nya saja. Ini no beliau 0822-9423-8289 semoga saudara bisa sembuh juga seperti saya amin...

    BalasHapus