1. DEFINISI
Plasenta adalah organ yang dibentuk selama kehamilan untuk memberikan nutrisi, membuang hasil metabolisme, dan menghasilkan hormon untuk mempertahankan kehamilan. Umumnya plasenta telah lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh cavum uteri. Letak plasenta umumnya di depan atau di belakang dinding uterus, agak ke atas ke arah fundus uteri. Hal ini adalah fisiologis karena permukaan bagian atas korpus uteri lebih luas, sehingga lebih banyak tempat untuk berimplantasi.1
Plasenta previa
adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga
menutupi seluruh atau sebagian ostium internum. Implantasi yang normal ialah pada
dinding depan dan dinding belakang uterus di daerah fundus uteri.3
Sejalan dengan
bertambah membesarnya uterus dan meluasnya segmen bawah uterus ke arah
proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah uteri ikut
berpindah mengikuti perluasan segmen bawah uteri seolah plasenta itu
bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam
persalinan kala satu bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh
plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari plasenta
previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal maupun dalam masa
intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun pemeriksaan digital. Oleh karena
itu, pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam asuhan antenatal
atau intranatal.3
2. KLASIFIKASI
Klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu, yaitu :4
1.
Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi
seluruh ostium uteri internum.
2.
Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium
uteri internum.
3. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada
pinggir ostium uteri internum.
4.
Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah uteri sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih
kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap
normal.3
Gambar 3.2. Plasenta previa totalis (paling kiri), plasenta previa parsialis (kiri tengah), plasenta previa marginalis (kanan tengah) dan plasenta letak rendah (paling kanan).5
Karena klasifikasi
ini tidak didasarkan pada keadaan anatomik melainkan fisiologik, maka
klasifikasinya akan berubah setiap waktu. Umpamanya, plasenta previa totalis
pada pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta previa parsialis pada
pembukaan 8cm.3,4
3. INSIDENSI
Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi dan pada usia di atas 30 tahun. Juga lebih sering terjadi pada kehamilan ganda daripada kehamilan tunggal.uterus bercacat ikut mempertinggi angka kejadiannya. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan insidennya berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%. Di negara maju insidensinya lebih rendah yaitu kurang dari 1% mungkin disebabkan berkurangnya perempuan hamil paritas tinggi. Dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi lebih dini, insidens plasenta previa bisa lebih tinggi.1 Plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 di antara 200 persalinan. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, antara tahun1971-1975, terjadi 37 kasus plasenta previa di antara 4.781 persalinan yang terdaftar atau kira-kira 1 di antara 125 persalinan terdaftar.4
Di Amerika Serikat,
plasenta previa terjadi sekitar 0,3 - 0,5 % dari semua persalinan. Dari seluruh
kejadian plasenta previa, plasenta previa totalis terjadi sebanyak 20-45%, plasenta previa parsialis sebanyak
kurang lebih 30% dan plasenta previa marginalis sebanyak 25-50%.1
Sedangkan jumlah kematian perinatal akibat plasenta previa sekitar 0,03%.4
4. ETIOLOGI
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah uteri belum diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua di daerah segmen bawah uterus tanpa latar belakang lain yang mungkin. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai, mungkin sebagai akibat dari proses radang atau atrofi. Paritas tinggi, usia lanjut, cacat rahim misalnya bekas bedah sesar, kerokan, miomektomi, dan sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di endometrium yang semuanya dapat dipandang sebagai sebagai faktor resiko terjadinya plasenta previa. Cacat bekas bedah sesar berperan menaikkan insiden dua sampai tiga kali. Pada perempuan perokok, dijumpai insidensi plasenta previa lebih tinggi dua kali lipat. Hipoksemia akibat karbon monoksida hasil pembakaran rokok menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi. Plasenta yang terlalu besar seperti pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah uterus sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.3,2
5. FAKTOR PREDISPOSISI
1.
Multiparitas dan umur lanjut ( >/ = 35 tahun).
2. Defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi akibat perubahan
atrofik dan inflamatorotik.
3.
Cacat atau jaringan parut pada endometrium oleh bekas pembedahan (SC,
Kuret, dll).
4.
Chorion leave persisten.
5.
Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima
hasil konsepsi.
6.
Konsepsi dan nidasi terlambat.
7.
Plasenta besar pada hamil ganda dan eritoblastosis atau hidrops fetalis.
8.
Riwayat plasenta previa sebelumnya.
Plasenta previa
diperkirakan terjadi pada 1 diantara 20 wanita yang memiliki faktor resiko.
Riwayat plasenta previa sebelumnya, riwayat seksio sesarea dan riwayat aborsi
sebelumnya dapat menyebabkan perubahan atrofi dan pembentukan scar pada
desidua.3,6 Meski perubahan yang terjadi pada desidua
tidak selalu menyebabkan terjadinya plasenta previa namun merupakan faktor
resiko untuk terjadinya plasenta previa. Pada kehamilan yang multipel, plasenta
akan memperluas permukaannya bahkan sampai ke pembukaan jalan lahir, dimana
risiko terjadi plasenta previa meningkat 2 kali lipat pada kehamilan ganda.3,2
Dilihat dari
paritas dan umur ibu, Kloosterman (1973) mendapatkan frekuensi plasenta previa
pada primigravida yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 10 kali lebih
sering dibandingkan dengan primigravida yang berumur kurang dari 25 tahun, pada
grande multipara yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 4 kali lebih sering
dibandingkan dengan grande multipara yang berumur kurang dari 25 tahun.
Sedangkan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo juga didapatkan frekuensi
plasenta previa yang semakin meningkat dengan meningkatnya umur dan paritas.
Frekuensi plasenta previa pada primigravida yang berumur lebih dari 35 tahun
kira-kira 2 kali lebih besar dibandingkan dengan primigravida yang berumur
kurang dari 25 tahun, pada para 3 atau lebih yang berumur lebih dari 35 tahun
kira-kira 3 kali lebih besar dibandingkan dengan para 3 atau lebih yang berumur
kurang dari 25 tahun.3,2
6. PATOFISIOLOGI
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah uterus, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal yaitu, bagian desidua basalis yang bertumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah uterus, maka plasenta yang berimplantasi sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta.3,6
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan mungkin juga lebih awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah uterus, tapak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal yaitu, bagian desidua basalis yang bertumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah uterus, maka plasenta yang berimplantasi sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta.3,6
Demikian pula pada
waktu serviks mendatar (effacement)
dan membuka (dilatation) ada bagian
tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan
yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu ruangan intervillus dari plasenta.
Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada
plasenta previa betapa pun pasti akan terjadi (unavoidable bleeding).
Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen
bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot
yang dimilikinya sangat minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu
tidak akan tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi
pembekuan kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta
pada mana perdarahan akan berlangsung lebih lama dan lebih banyak. Oleh karena
pembentukan segmen bawah rahim itu berlangsung progresif dan bertahap, maka
laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan. Demikianlah perdarahan akan
berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless).
Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (painless).3,6
Pada plasenta yang
menutupi seluruh ostium uteri internum perdarahan terjadi lebih awal dalam
kehamilan oleh karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian
terbawah yaitu pada ostium uteri internum. Sebaliknya, pada plasenta previa parsialis atau letak
rendah perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau mulai persalinan.
Perdarahan pertama biasanya sedikit, tetapi cenderung lebih banyak pada
perdarahan berikutnya. Untuk berjaga-jaga mencegah syok hal tersebut perlu
dipertimbangkan. Perdarahan pertama sudah biasa terjadi pada kehamilan di bawah
30 minggu tetapi lebih separuh kejadiannya pada umur kehamilan 34 minggu ke
atas. Berhubung tempat perdarahan terletak dekat dengan ostium uteri internum,
maka perdarahan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan tidak membentuk hematom
retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan melepaskan
tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian, sangat jarang
terjadi koagulopati pada plasenta previa.3,6
Hal yang perlu
diperhatikan adalah segmen bawah rahim yang tipis dan mudah diinvasi oleh
permukaan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada
dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan plasenta inkreta,
bahkan plasenta perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus ke
buli-buli, dan ke rektum bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih sering
terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah mengalami bedah sesar. Segmen bawah rahim dan serviks
yang rapuh dan mudah robek oleh sebab kurangnya elemen otot yang terdapat di
sana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan kejadian perdarahan pasca
persalinan pada plasenta previa, misalnya dalam kala tiga karena plasenta sukar
melepas dengan sempurna (retentio
plasenta), atau setelah uri lepas karena segmen bawah uteri tidak dapat
berkontraksi dengan baik.3,6
Gambar
3.3. Segmen bawah rahim yang tipis hingga menyebabkan plasenta akreta, inkreta atau perkreta.5
7. GAMBARAN KLINIK
Perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi pada saat penderita tidur atau bekerja biasa. Perdarahan pertama biasanya tidak banyak, sehingga tidak akan berakibat fatal dan sering berhenti sendiri. Akan tetapi perdarahan berikutnya selalu lebih banyak daripada perdarahan sebelumnya dan lebih berbahaya jika sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan dalam. Walaupun perdarahannya sering dikatakan terjadi pada triwulan ketiga, akan tetapi tidak jarang pula dimulai sejak kehamilan 20 minggu karena sejak itu segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis.3,7
Dengan bertambahnya
usia kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi, dan serviks mulai
membuka. Plasenta yang letaknya lebih tinggi dapat menyebabkan perdarahan yang
baru muncul ketika persalinan dan sering kali salah didiagnosis dengan solutio
plasenta. Darah berwarna merah segar, berlainan dengan darah yang disebabkan
oleh solusio plasenta yang berwarna kehitaman. Sumber perdarahan berasal dari
sinus uterus yang terobek karena lepasnya plasenta dari dinding uterus, atau karena robekan
sinus marginalis dari plasenta. Perdarahan yang terjadi tidak dapat dihindarkan
karena ketidakmampuan segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan
perdarahan itu, tidak seperti perdarahan pada kala III dengan letak plasenta
yang normal.3,7
Turunnya bagian
terbawah janin ke dalam pintu atas panggul akan terhalang karena adanya
plasenta di bagian bawah uterus. Apabila janin dalam presentasi kepala,
kepalanya akan didapatkan belum masuk ke dalam pintu atas panggul yang mungkin
karena plasenta previa sentralis, menggolak ke samping karena plasenta previa
parsialis, menonjol di atas simfisis karena plasenta previa posterior, atau
bagian terendah janin tidak teraba karena plasenta previa anterior. Pada
plasenta previa tidak jarang terjadi kelainan letak, seperti letak lintang atau
letak sungsang.3,7
Gambar 3.4. Berbagai letak janin pada
plasenta previa.5
Apabila janin telah
lahir, plasenta tidak selalu mudah dilahirkan karena sering mengadakan
pendekatan yang erat dengan dinding uterus. Selain itu, sering terjadi
perdarahan postpartum apabila plasenta telah lahir. Ini terjadi karena
kekurangmampuan serabut-serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi
menghentikan perdarahan dari bekas insersio plasenta atau karena perlukaan
serviks dan segmen bawah uterus yang rapuh dan mengandung banyak pembuluh darah
besar, yang dapat terjadi bila persalinan berlangsung pervaginam.3,7
8. DIAGNOSIS
Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai sebagai plasenta previa sampai dibuktikan bahwa dugaaan itu salah. Diagnosis plasenta previa sulit ditegakkan tanpa dilakukan pemeriksaan klinik sampai jari masuk melalui serviks dan meraba adanya plasenta.3
Pada anamnesis,
akan ditemukan gejala perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu
tanpa rasa nyeri, berwarna merah segar, dan tanpa alasan, terutama pada multigravida.
Banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari
pemeriksaan hematokrit.3,7
Pada pemeriksaan
luar, bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul. Jika
presentasi kepala, biasanya kepalanya masih terapung di atas pintu atas panggul
atau menggolak ke samping, dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.
Tidak jarang disertai kelainan letak janin seperti letak lintang atau letak
sungsang.3,8
Pemeriksaan in
spekulo,
bertujuan mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum atau
dari kelainan serviks dan vagina, seperti erosio porsionis uteri, karsinoma porsionis
uteri, polypus servisis uteri, varises vulva, dan trauma. Apabila perdarahan
berasal dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
Dilakukan pemeriksaan ini jika perdarahan telah berhenti.3,8
Penentuan letak
plasenta tidak langsung, dapat dilakukan dengan radiografi, radioisotope, dan ultrasonografi.
Nilai diagnostik cukup tinggi di tangan yang ahli, akan tetapi ibu dan janin
pada pemeriksaan radiografi dan radioisotop masih dihadapkan pada bahaya
radiasi yang cukup tinggi pula, sehingga cara ini ditingggalkan. Cara termudah
dan tepat serta aman menentukan lokasi plasenta dengan USG transabdominal.
Nilai akurasi diagnostik 96% dan dapat mencapai 98%. False positif dapat
terjadi akibat distensi vesika urinaria. Oleh karena itu pemeriksaan USG yang positif harus diulang
setelah pengosongan vesika urinaria.3
Penentuan letak plasenta secara langsung adalah dengan meraba secara langsung
plasenta melalui kanalis servikalis. Akan tetapi pemeriksaan ini sangat
berbahaya karena dapat menimbulkan perdarahan banyak. Oleh karena itu
pemeriksaan melalui kanalis servikalis hanya dilakukan apabila penanganan pasif
ditinggalkan dan ditempuh penanganan aktif. Pemeriksaan harus dilakukan dalam
keadaan siap operasi.3,8
Pemeriksaan
fornises hanya bermakna apabila janin dalam presentasi kepala. Sambil mendorong
sedikit kepala janin ke arah pintu atas panggul, perlahan-lahan seluruh fornises diraba dengan jari.
Perabaannya teraba lunak apabila antara jari dan kepala terdapat plasenta.3,8
Pemeriksaan melalui
kanalis servikalis hanya dapat dilakukan apabila kanalis servikalis sudah
terbuka. Perlahan-lahan jari dimasukkan ke dalam kanalis servikalis dengan
tujuan meraba kotiledon plasenta. Jangan sekali-kali menyelusuri pinggir
plasenta karena dapat menyebabkan lepasnya insersio plasenta.3
9. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk plasenta previa adalah solusio plasenta, ruptur uteri, erosi portio, post coital bleeding, preterm labour dan gangguan pembekuan darah.3
Gejala
dan tanda
|
Faktor
predisposisi
|
Penyulit
lain
|
Diagnosis
|
· Perdarahan tanpa nyeri, usia gestasi > 22
minggu
· Darah segar atau dengan bekuan
· Perdarahan dapat terjadi setelah miksi atau
defekasi, aktivitas fisik, kontraksi braxton hicks atau koitus
|
· multipara
· mioma uteri
· usia lanjut
· kuretase berulang
· bekas SC
· merokok
|
· Syok
· perdarahan setelah koitus
· Tidak ada kontraksi uterus
· Bagian terendah janin tidak
masuk PAP
· Bisa terjadi gawat janin
|
Plasenta previa
|
· Perdarahan dengan nyeri
intermitten atau menetap
· Warna darah kehitaman dan
cair, tapi mungkin ada bekuan jika solusio relatif baru
· Jika ostium terbuka, terjadi
perdarahan berwarna merah segar.
|
·
Hipertensi
·
versi luar
·
trauma abdomen
·
polihidramnion
·
gemelli
·
defisiensi gizi
|
· Syok yang tidak sesuai dengan
jumlah darah (tersembunyi)
· Anemia berat
· Melemah atau hilangnya denyut
jantung janin
· gawat janin atau hilangnya
denyut jantung janin
· Uterus tegang dan nyeri
|
Solusio plasenta
|
·
Perdarahan intraabdominal dan/atau vaginal
·
Nyeri hebat sebelum perdarahan dan syok, yang kemudian hilang setelah
terjadi regangan hebat pada perut bawah (kondisi ini tidak khas)
|
· Riwayat seksio sesarea
· Partus lama atau kasep
· Disproporsi kepala
/fetopelvik
· Kelainan letak/presentasi
· Persalinan traumatik
|
· Syok atau takikardia
· Adanya cairan bebas
intraabdominal
· Hilangnya gerak atau
denyut jantung janin
· Bentuk uterus abnormal atau
konturnya tidak jelas.
· Nyeri raba/tekan dinding
perut dan bagian2 janin mudah dipalpasi
|
Ruptur uteri
|
· Perdarahan berwarna merah
segar.
· Uji pembekuan darah tidak
menunjukkan adanya bekuan darah setelah 7 menit
· Rendahnya faktor pembekuan
darah, fibrinogen, trombosit, fragmentasi sel darah
|
·
solusio plasenta
·
janin mati dalam rahim
·
eklamsia
·
emboli air ketuban
|
·
perdarahan gusi
·
gambaran memar bawah kulit
· perdarahan dari tempat
suntikan jarum infus
|
Gangguan pembekuan darah
|
10. PENATALAKSANAAN
10.1. Prinsip Dasar Penatalaksanaan
Setiap ibu dengan
perdarahan antepartum harus segera dikirim ke rumah sakit yang memiliki
fasilitas untuk melakukan transfusi darah dan operasi. Perdarahan yang terjadi
pertama kali jarang sekali, atau boleh dikatakan tidak pernah menyebabkan
kematian, asal sebelumnya tidak diperiksa dalam. Biasanya masih terdapat cukup
waktu untuk mengirimkan penderita ke rumah sakit, sebelum terjadi perdarahan
berikutnya yang hampir selalu lebih banyak daripada sebelumnya. Jangan
sekali-kali melakukan pemeriksaan dalam kecuali dalam keadaan siap operasi.3,8
Apabila dari
penilaian ternyata perdarahan yang telah berlangsung atau yang akan berlangsung
tidak akan membahayakan ibu dan/atau janinnya (yang masih hidup), dan
kehamilannya belum cukup 36 minggu, atau taksiran berat janin belum sampai 2500
gram, dan persalinan belum mulai, dapat dibenarkan untuk menunda persalinan
sampai janin dapat hidup di luar kandungan lebih baik lagi. Penanganan pasif
ini, pada kasus-kasus tertentu sangat bermanfaat untuk mengurangi angka
kematian neonatus yang tinggi akibat prematuritas, asal jangan dilakukan
pemeriksaan dalam.3,7
Penganganan pasif
ini diperkenalkan oleh Johnson dan Macafee pada tahun 1945 untuk beberapa kasus
plasenta previa yang janinnya masih prematur dan perdarahannya tidak berbahaya,
sehingga tidak diperlukan tindakan pengakhiran kehamilan segera. Pengalamannya
membuktikan bahwa perdarahan pertama pada plasenta previa jarang sekali fatal
apabila sebelumnya tidak dilakukan pemeriksaan dalam dan perdarahan berikutnya
pun jarang sekali fatal apabila sebelumnya ibu tidak menderita anemia dan tidak
pernah dilakukan pemeriksaan dalam.3,8
Penanganan pasif
ini bertujuan untuk memberikan kesempatan janin untuk dapat hidup dan
berkembang lebih lama di dalam uterus sehingga akan meningkatkan luaran bayi
kemungkinan bayi untuk hidup di luar kandungan lebih besar lagi.3,6 Penanganan pasif ini harus dilakukan secara
konsekuen dimana menuntut fasilitas rumah sakit dan perhatian dokter yang luar
biasa. Penderita harus dirawat di rumah sakit sejak perdarahan pertama sampai
pemeriksaan menunjukkan tidak adanya plasenta previa atau sampai bersalin.
Transfusi darah atau operasi harus dapat dilakukan setiap saat apabila
diperlukan. Anemia harus segera diatasi mengingat kemungkinan perdarahan
berikutnya. Menilai banyaknya perdarahan harus lebih didasarkan pada
pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit secara berkala, daripada memperkirakan
banyaknya darah yang hilang pervaginam. Ada atau tidaknya plasenta previa
diperiksa dengan penentuan letak plasenta secara tidak langsung.3,8 Penderita dianjurkan untuk melakukan tirah
baring atau bedrest, diberi hematinik, antibiotika, dan tokolitik bila
ada his. Bila umur kehamilan kurang dari 34 minggu diberikan kortikosteroid
untuk mempercepat pematangan paru-paru janin. Jika ibu memiliki tipe darah Rh negatif,
diberikan injeksi Rh immune globulin atau RhoGam.3
Bila selama 3 hari tidak ada perdarahan, pada pasien dilakukan mobilisaI bertahap. Setelah pasien berjalan tetap tidak ada perdarahan, pasien boleh pulang dengan diinformasikan agar mengurangi aktifitas fisik dan menghindari setiap manipulasi intravaginal.3,8
Bila selama 3 hari tidak ada perdarahan, pada pasien dilakukan mobilisaI bertahap. Setelah pasien berjalan tetap tidak ada perdarahan, pasien boleh pulang dengan diinformasikan agar mengurangi aktifitas fisik dan menghindari setiap manipulasi intravaginal.3,8
Dilakukan
penanganan aktif segera dan penanganan pasif harus ditinggalkan, jika terdapat
salah satu dari keadaan dibawah ini : 3,8
·
Penurunan kondisi ibu
·
Perdarahan aktif
·
Umur kehamilan > 36 minggu
·
Taksiran berat janin > 2500 gram
·
Gawat janin pada janin yang viable
·
Kontraksi uterus yang tidak berespon pada pengobatan
Dalam hal ini
pemeriksaan dalam dapat dilakukan di meja operasi dalam keadaan siap operasi.
10.2. Memilih Cara Persalinan
Pada umumnya
memilih cara persalinan yang terbaik tergantung dari derajat plasenta previa,
paritas dan banyaknya perdarahan. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan
pula ialah apakah terhadap penderita pernah dilakukan pemeriksaan dalam, atau
penderita pernah mengalami infeksi seperti seringkali terjadi pada kasus-kasus
kebidanan yang terbengkalai.3,8
Plasenta previa
totalis merupakan indikasi mutlak untuk seksio sesarea, tanpa menghiraukan
faktor-faktor lainnya. Plasenta previa parsialis pada primigravida sangat
cenderung untuk seksio sesarea. Perdarahan banyak, apalagi berulang, merupakan
indikasi mutlak umtuk seksio sesarea karena perdarahan itu biasanya disebabkan
oleh plasenta previa yang lebih tinggi derajatnya daripada apa yang ditemukan
pada pemeriksaan dalam, atau vaskularisasi yang hebat pada serviks dan segmen
bawah uterus.3,8
Multigravida dengan
plasenta letak rendah, plasenta previa marginalis, atau plasenta previa
parsialis pada pembukaan lebih dari 5 cm dapat ditanggulangi dengan pemecahan
selaput ketuban. Akan tetapi, apabila ternyata pemecahan selaput ketuban tidak
mengurangi perdarahan yang timbul kemudian, atau setelah 12 jam tidak terjadi
persalinan, atau terjadi gawat janin, maka seksio sesarea harus dilakukan.
Dalam memilih cara persalinan per vaginam hendaknya dihindarkan cara persalinan
yang lama dan sulit karena akan sangat membahayakan ibu dan janinnya.3,8
Pada kasus yang
terbengkalai, dengan anemia berat dengan perdarahan atau infeksi intrauterin,
baik seksio sesarea maupun persalinan per vaginam sama-sama tidak mengamankan
ibu maupun janinnya. Akan tetapi, dengan bantuan transfusi darah dan antibiotika secukupnya, seksio
sesarea masih lebih aman daripada persalinan per vaginam untuk semua kasus
plasenta previa totalis dan kebanyakan kasus plasenta previa parsialis. Seksio
sesarea pada multigravida yang telah memiliki anak hidup cukup banyak dapat
dipertimbangkan untuk dilanjutkan dengan histerektomi untuk menghindarkan
terjadinya perdarahan postpartum yang
sangat mungkin akan terjadi, atau sekurang-kurangnya dipertimbangkan untuk
dilanjutkan dengan sterilisasi untuk menghindarkan kehamilan yang berikutnya.
Terdapat 2 pilihan cara persalinan, yaitu persalinan per vaginam dan persalinan
per abdominal (seksio sesarea). Persalinan per vaginam bertujuan agar bagian
terbawah janin menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah selama
persalinan berlangsung, sehingga perdarahan berhenti. Seksio sesarea bertujuan
untuk secepat-nya mengangkat sumber perdarahan, dengan demikian memberikan
kesempatan kepada uterus untuk menghentikan perdarahannya dan untuk
menghindarkan perlukaan pada serviks dan segmen bawah uterus yang rapuh apabila
dilangsungkan persalinan per vaginam.3,8
a. Pesalinan per vaginam
Pemecahan selaput
ketuban merupakan cara yang terpilih untuk melangsungkan persalinan per
vaginam, karena bagian terbawah janin akan menekan plasenta dan bagian plasenta
yang berdarah, dan bagian plasenta yang berdarah itu dapat bebas mengikuti
regangan segmen bawah uterus, sehingga pelepasan plasenta dari segmen bawah
uterus lebih lanjut dapat dihindarkan.3,11
Apabila pemecahan
ketuban tidak berhasil menghentikan perdarahan, maka terdapat 2 cara lainnya
yang lebih keras menekan plasenta dan mungkin pula lebih cepat menyelesaikan
persalinan, yaitu memasang cunam Willet, dan versi Braxton-Hicks. Kedua cara
ini sudah ditinggalkan dalam dunia kebidanan muktahir karena seksio sesarea
jauh lebih aman bagi ibu dan janinnya dibandingkan kedua cara itu. Akan tetapi,
kedua cara itu masih mempunyai tempat tertentu dalam dunia kebidanan, umpamanya
dalam keadaan darurat sebagai pertolongan pertama untuk mengatasi perdarahan
banyak, atau apabila seksio sesarea tidak mungkin dilakukan.3,8
Semua cara ini
mungkin mengurangi atau menghentikan perdarahan, dengan demikian, menolong ibu,
akan tetapi tidak selalu menolong janinnya. Tekanan yang terus menerus pada
plasenta akan mengurangi sirkulasi darah antara uterus dan plasenta, sehingga
dapat menyebabkan anoksia sampai kematian janin. Oleh karena itu, cara ini
cenderung dilakukan pada janin yang telah mati, atau yang prognosisnya hidup di
luar uterus tidak baik. Cara ini apabila akan dilakukan, lebih tepat dilakukan
pada miltipara karena persalinannya dijamin lebih lancar, dengan demikian
tekanan pada plasenta berlangsung tidak terlalu lama. Bila his tidak
adekuat dapat diberikan oksitosin drip. Namun bila perdarahan tetap ada maka
dilakukan seksio sesaria.3,8
b. Seksio sesarea
Di rumah sakit yang
serba lengkap, seksio sesarea akan merupakan persalinan yang terpilih. Nesbitt
(1962) melaporkan 65% dari semua kasus plasenta previa diselesaikan dengan
seksio sesarea.4 Persalinan seksio sesaria diindikasikan untuk plasenta previa totalis
baik janin mati atau hidup, plasenta previa lateralis dimana pembukaannya
kurang dari 4 cm atau serviks belum matang, plasenta previa dengan perdarahan
yang banyak dan plasenta previa dengan gawat janin. Gawat janin atau kematian
janin tidak boleh menjadi halangan untuk melakukan seksio sesarea, demi
keselamatan ibu. Akan tetapi, gawat ibu mungkin terpaksa menunda seksio sesarea
sampai keadaannya dapat diperbaiki, apabila fasilitas memungkinkan. Apabila
fasilitasnya tidak memungkinkan untuk memperbaiki keadaan ibu, jangan ragu-ragu
untuk melakukan tindakan seksio sesarea jika itu satu-satunya tindakan yang
terbaik, seperti pada plasenta previa totalis dengan perdarahan yang banyak.3,8
Dalam keadaan
gawat, laparotomi dengan sayatan kulit median jauh lebih cepat dapat dilakukan
daripada dengan sayatan Pfannensteil yang lebih kosmetik. Sayatan pada dinding
uterus sedapat mungkin menghindarkan sayatan pada plasenta, agar perdarahan
dari pihak ibu dan janin tidak lebih banyak lagi. Perdarahan dari pihak janin
akan sangat membahayakan kehidupannya, apabila tidak segera ditemukan tali
pusatnya untuk kemudian dijepit. Dapat dilakukan seksio sesarea korporalis,
walaupun diakui seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan jenis operasi
yang terbaik untuk melahirkan janin per abdominam, apabila ternyata plasenta
pada dinding depan uterus yaitu untuk menghindarkan sayatan pada plasenta dan
menghindarkan sayatan pada segmen bawah uterus yang biasanya rapuh dan penuh
dengan pembuluh darah besar-besar, sehingga dapat menghindarkan perdarahan
postpartum. Perdarahan yang berlebihan dari bekas insersio plasenta, tidak
selalu dapat diatasi dengan pemberian uterotonika, apalagi kalau penderita
telah sangat anemis. Histerektomi totalis merupakan tindakan yang cepat untuk
menghentikan perdarahan, dan dapat menyelamatkan jiwa penderita, namun
sebelumnya sebaiknya dicoba terlebih dahulu untuk meghentikan perdarahan itu
dengan jahitan. Apabila cara-cara tersebut tidak berhasil meghentikan
perdarahan, dianjurkan untuk menghentikan perdarahan itu dengan jalan mengikat
arteri hipogastrika.3,8
11. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat
terjadi pada ibu dan janinnya. Komplikasi pada ibu dapat berupa perdarahan post
partum dan syok karena kurang kuatnya kontraksi segmen bawah rahim, komplikasi
tindakan seksio sesarea seperti trauma uterus atau serviks, infeksi saluran
kencing, pneumonia post operatif dan meskipun jarang dapat terjadi embolisasi
cairan amnion. Dapat pula terjadi kematian ibu yang disebabkan karena
perdarahan post partum atau karena terjadi DIC (Disseminated Intravascular
Coagulopathy).11
Terhadap janin,
plasenta previa meningkatkan insiden kelainan kongenital dan pertumbuhan janin
terganggu sehingga bayi yang dilahirkan memiliki berat yang kurang dibandingkan
dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak menderita plasenta previa. Risiko kematian
neonatal juga meningkat pada bayi dengan plasenta previa dengan angka kematian
±5%.6
12. PROGNOSIS
Dengan
penanggulangan yang baik seharusnya kematian ibu karena plasenta previa rendah
sekali atau tak ada sama sekali. Sejak diperkenalkannya penanganan pasif pada
tahun 1945, kematian perinatal berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun
demikian, hingga kini kematian perinatal yang disebabkan prematuritas tetap
memegang peranan utama.3
DAFTAR PUSTAKA
1.
Perkumpulan obstetri
dan ginekologi indonesia. Standar pelayanan medik obstetri dan ginekologi. 2006
2. Cunningham
F.G, Leveno K.J, Bloom S.L. Obstetrical hemorrhage. Williams obstetric. Edisi
ke-22. McGraw-Hill Companies; 2007.
3. Prawiroharjo
S. Ilmu kebidanan. 2009. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
4. Bagian
Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.
Obstetri patologi. Bandung: Elstar Offset Bandung; 1984. 110-20.
5. Miller
D.A. Obstetric hemorrhage. 2004. [diakses 15 Agustus 2015] http://www.obfocus.com/images/previa.gif.htm.
6. Hanafiah
T.M. Plasenta previa. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara; 2004.
7. Karkata
K. Pedoman diagnosis obstetrik dan ginekologik. Denpasar: Bagian/SMF Kebidanan
dan Ilmu Penyakit Kandungan FK Unud/RS Sanglah.
8. Saifudin
A.B, Wiknjosastro G.H, Affandi B, Waspodo D. Buku panduan praktis pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal. Cetakan ke-7. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2002. 18-24.